The Naked Traveler |
Traveling zaman dulu yang mungkin nggak kebayang di zaman sekarang Posted: 24 Jun 2017 02:37 AM PDT Saya sudah terbiasa traveling sejak kecil. Tidak ada yang hebat, saya merasa biasa-biasa saja. Saya justru merasa 'aneh' ketika traveling di zaman sekarang, lebih tepatnya sejak era ponsel dan internet. Segalanya jadi sangat mudah, tinggal ketak-ketik sebentar langsung jadi. Untuk generasi milenial, berikut beberapa perbedaannya yang mencolok saat traveling zaman dulu yang mungkin tidak bisa kalian bayangkan kalau terjadi di zaman sekarang; Pesawat boleh merokok Ini perbedaan yang paling mencolok antara dulu dan sekarang. Bayangin dulu penumpang boleh merokok di dalam pesawat terbang! Smoking area di dalam pesawat ada di kursi-kursi bagian paling belakang. Tidak ada pemisah kaca seperti di ruangan merokok di bandara, jadi asap membumbung sampai ke langit-langit, bahkan sampai terasa di kursi depan pesawat . Saya malah pernah mengalami merokok bareng pramugara dan pramugari di galley belakang, bahkan konon dulu pilot juga merokok. Sekarang membayangkannya aja jadi ngeri! Kok bisa ya cuek banget zaman dulu? Udah sepesawat bau asap, lalu gimana kalau pesawat kebakaran akibat bara api puntung rokok? Hiyy! Tiket pesawat segepok Sekarang tiket pesawat bisa tinggal tunjukin ponsel, bahkan QR Code-nya bisa langsung jadi boarding pass. Dulu beli tiket harus datang ke kantor maskapai penerbangan atau travel agent. Setelah membayar, tiket diberikan dalam bentuk buku kecil panjang yang bentuknya kayak kwitansi. Di tiket tertera nama, destinasi, tanggal dan jam keberangkatan yang ditulis pake tangan. Meski yang terpenting adalah halaman itu doang, tapi tiket itu segepok banyaknya. Yang lain isinya adalah terms & conditions. Bayangin berapa banyak kertas yang terbuang zaman dulu? Pasrah menginap Dulu travel agent itu berkuasa banget karena mereka lah yang bisa booking pesawat dan hotel. Masalahnya mereka hanya bekerja sama dengan hotel-hotel berbintang, jadi sebagai backpacker sulit untuk mencari penginapan murah semacam hostel. Zaman belum ada internet, booking dilakukan via telepon – di telepon umum koin pula. Bentuk hostel kayak apa nggak kebayang kecuali ada gambarnya di brosur yang tersedia di bandara atau stasiun kereta utama, itu pun sangat jarang. Diperparah lagi dengan tidak adanya testimoni dari tamu yang pernah menginap, jadi lah sering ketipu. Makanya dulu saya sering go show. Sampai di suatu kota, berjalan kaki sambil cari-cari penginapan, keluar-masuk kamarnya untuk ngecek kondisi, baru diputuskan belakangan. Seringnya kalau udah capek, pilih yang mana duluan kosong jadi pasrah terima aja apapun kondisinya. Peta besar Dulu traveling itu gampang banget nyasar. Bayangkan hidup di zaman nggak ada GPS, bagaimana cara cari alamat? Pakai peta terbuat dari kertas yang besar dan bisa dilipat. Bahkan ada peta versi buku kuning. Ada sih yang sehalaman, biasanya disediakan oleh penginapan setempat. Pokoknya nyasar jadi makanan sehari-hari, apalagi kalau nggak bisa bertanya karena kendala bahasa. Jadi istilah "let's get lost" itu sebenarnya lebih cocok diterapkan di zaman dulu. Bawa weker Iya, serius. Dulu zaman belum ada ponsel, saya masih bawa weker. Eh, pada tau kan jam weker? Itu jam meja yang harus diputer dulu jarum jamnya supaya berbunyi pada waktu yang diinginkan. Butuh weker bukan sekedar untuk bangun pagi mengejar pesawat, tapi dulu saya pasang weker untuk pengingat kapan turun di stasiun kereta Eropa saking tepat waktunya. Bawa Walkman/CD Player Kalau suka denger musik, hal ini yang paling berat dilakukan saat traveling. Berat dalam arti hafiah. Walkman itu semacam tape portable yang berisi kaset. Nah, apakah kalian tahu bentuk kaset? Gugling sendiri deh ya. Kaset begitu kalau cuma bawa satu sih nggak apa-apa, tapi kan bosen denger lagu sealbum doang. Jadilah bawa kaset banyak sehingga berat dan bulky. Kalau niat, sebelum pergi bikin album kompilasi sendiri dulu dalam satu kaset. Sama halnya dengan CD (Compact Disk) player. Bedanya, kaset yang tebel itu diganti dengan piringan CD tipis. Koleksi CD dimasukin ke dalam semacam dompet panjang. Masih berat dan bulky, bukan? Bedakan dengan zaman sekarang denger musik tinggal pake alat sekecil jempol bisa denger ribuan lagu. Kamera pake film rol Dulu semua kamera masih menggunakan film rol, baik kamera saku maupun SLR. Masangnya aja ribet. Sekali salah pasang, film "terbakar" dan foto terhapus. Satu rol isi 24 atau 36 frame. Untuk menghemat, hanya objek yang menarik aja yang difoto. Per trip saya biasanya bawa 5 rol. Ribet selanjutnya setelah pulang trip adalah harus pergi ke toko film untuk mencetak foto. Lalu setiap foto dimasukkan ke dalam album foto, sehingga lemari isinya penuh dengan banyak album dan rol film negatif. Susah Berhubungan Dulu kalau lagi traveling, bener-bener "terlepas". Karena nggak ada ponsel dan internet sehingga susah dihubungi, susah menghubungi, tidak tahu apa yang sedang terjadi di dunia, dan tidak merasa penting juga untuk tahu apa yang terjadi. Moral of the story: Pertama, karena dulu saya terbiasa traveling the hard way alias apa-apa harus manual, sekarang jadi terasa mudah luar biasa. Makanya saya sangat heran dengan anak zaman sekarang yang masih nanya, "Kalo ke Singapura nginepnya di mana ya, mbak?" Lha wong punya smartphone yang tinggal digugling! Plis deh. |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |