The Naked Traveler |
Posted: 13 Nov 2021 07:01 AM PST Zaman dulu saat kuliah di Undip, saya dan geng anak perantauan (salah satunya si Yasmin) sering menghabiskan weekend dengan kemping atau naik gunung. Lokasi kampus di Semarang memudahkan kami menjelajah alam di sekitar Jawa hanya dengan naik motor atau bus umum. Lumayan lah puncak Gunung Ungaran (2.050 mpdl) dan Gunung Lawu (3.265 mdpl) sudah pernah kami daki bersama. Puluhan tahun kemudian, saya diajak reunian sama geng. Bukannya reuni di kafe seperti biasanya, tapi naik gunung lagi! Gunung Prau di Dieng, Jawa Tengah, dipilih karena katanya termasuk paling mudah dan cepat dengan pemandangan yang bagus. Padahal selama itu saya sudah meninggalkan gunung karena beralih ke laut, atau sekedar kemping. Pernah sih beberapa kali trekking di pegunungan, termasuk di Himalaya. Naik gunung pun pernah sampai puncak Mount Sinai di Mesir. Tapi itu kan pas saat masih muda dan tidak sedang sakit dengkul! Maka sebulan sebelum keberangkatan, saya pun ke dokter spesialis ortopedi, rajin fisioterapi, dan diet, demi membuat dengkul enakan. Semakin mendekati hari-H, WhatsApp Group semakin heboh. Punya keluarga dan pekerja kantoran bikin sebagian orang susah dapat izin. Puluhan tahun yang lalu kami bisa santai naik gunung hanya bermodal sendal jepit dan sarung, sekarang rempong kudu bawa sepatu hiking, tenda, sleeping bag, down jacket, trekking pole, sampai modem WiFi. Akhirnya geng tersisa 4 orang saja yang bisa pergi: saya, Yasmin, Intan, dan Mebi. Yak, 3 buk-ibuk dan 1 bapack-bapack! Pada 5 November 2021, kami pun berangkat. Setelah santai menyetir mobil bergantian dari Jakarta ke Dieng, sekitar jam 3 pagi kami sampai di Homestay "1000 Bukit" di Patak Banteng untuk menginap. Jam 9 pagi kami mulai jalan ke base camp, mendaftarkan diri di Pos dengan menyertakan fotokopi KTP dan sertifikat vaksin, dan membayar tiket Rp 25 ribu/orang. Eh, tisu basah kami disita karena dilarang. Demi menjaga keamanan dengkul, saya menyewa porter. Tak lama datanglah pemuda ganteng yang bernama Feri yang mematok harga kenyamanan sebesar Rp 350 ribu. Lalu tenda dan jatah air segrup dimasukkan ke dalam ransel berisi barang saya yang dibawanya naik duluan. Jam 10 kami mulai mendaki dari base camp Patak Banteng ke Pos 1. Awalnya jalan perkampungan, lalu melewati lembah, lanjut dengan undakan tangga batu. Dari Pos 1 ke Pos 2 jalannya berupa undakan tangga dari tanah, ditambah dengan akar pepohonan dan bebatuan besar. Hujan pun turun deras sehingga jalan berlumpur dan sangat licin. Dari Pos 2 ke Pos 3 masih berupa jalan tanah yang menanjak curam diakhiri dengan undakan batu yang nggak ada habisnya! Sebentar-sebentar kami berhenti karena ngos-ngosan parah. Sepanjang jalan setiap bertemu dengan para pendaki lain yang semuanya anak muda, mereka meneriaki kami, "Semangaaat, Bu!" Duh, tua bener gue! Untunglah dari Pos 3 ke Sunrise Camp jalannya cukup landai. Kami pun tiba dalam waktu 4 jam. Not bad lah mengingat kami yang wis tuwek dengan jalan santai dan banyak berhenti. Dua tenda sudah terpasang rapi di pinggir tebing oleh Feri, sang porter. Dia pun memasak air dan membuatkan kami kopi. Enak banget punya asisten di gunung! Geng buk-ibuk mulai blingsatan cari tempat pipis karena camp penuh dengan ratusan orang berserta tendanya. Susah memang jadi cewek! Kami harus berjalan jauh ke balik semak-semak yang sepi, itu pun sudah penuh dengan kotoran orang lain beserta sampahnya! Eww! Jam 4 sore hujan berhenti, kami berjalan lagi selama sejam ke puncak Gunung Prau (2.690 mpdl). Jalannya tanah cukup rata dengan pemandangan bukit-bukit Teletubies, baru di akhir kami harus naik satu bukit curam sampai puncak yang sangat berkabut. Lagi asyik foto-foto di plang, perlahan kabut terbuka, lalu terlihatlah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang berdiri dengan megahnya. Di sisi kanannya terhampar gumpalan awan yang menutupi lembah – inilah rasa yang paling saya sukai ketika berada di puncak gunung: bisa berdiri lebih tinggi daripada awan! Dari kejauhan terlihatlah puncak Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Lawu. Saya sampai dadah-dadah ke Gunung Lawu, masih nggak percaya bisa melihat puncaknya lagi puluhan tahun kemudian! Menjelang sunset, kami berpindah ke barat. Matahari hanya mengintip karena tertutup awan, namun di antara hamparan awan itu terlihat puncak Gunung Slamet. Cuaca mulai dingin sampai badan kami menggigil turun ke camp. Kembali ke tenda, Feri memasak Indomie kornet (tanpa bubuk cabai karena takut bikin BAB) dan ditutup dengan kopi. Kami lalu sikat gigi, ganti baju hangat, dan mulai tidur. Bayangan tidur dalam suasana damai di gunung langsung sirna. Sangat banyak orang di situ dengan tenda-tenda yang dipasang sangat rapat satu sama lain. Mereka mengobrol dan tertawa keras-keras sepanjang malam, serta memasang musik dengan speaker! Hadeeuh! Saya terbangun saat matahari terbit. Tak heran camp ini disebut Sunrise Camp karena memang menghadap sunrise! Setelah sarapan dan beberes, jam 8.30 pagi kami pun mulai bergerak turun. Kalau turun gunung, napas memang nggak ngos-ngosan, tapi dengkul ini ampun nyerinya karena menahan beban tubuh lebih besar! Jalan tanah yang licin membuat saya berkali-kali memilih meluncur turun pakai pantat. Sampai Pos 1, dengkul saya sangat ndredeg gemetaran. Saya dan Yasmin pun naik ojek dengan membayar Rp 15 ribu sampai ke Homestay. Intinya, naik Gunung Prau ini bikin saya bangga: ternyata saya yang jompo gini bisa kok! Dan obrolan nostalgia bersama geng sepanjang perjalanan selama berhari-hari ini membuat saya bangga juga: meski selama kuliah itu saya bandel banget namun bisa selamat lulus duluan dengan nilai yang lumayan! Hehehe! By the way, Gunung Prau yang sudah sangat populer ini bisa dibuatkan fasilitas toilet nggak ya? |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |