Sudomo bersama istri pada peragaan busana karya Poppy Dharsono di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu, 25 Juli 2001. dok. TEMPO/Amatoel Rayyani.
Jaya dalam karier, sang laksamana terseok mengarungi bahtera rumah tangga. Di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sudomo menuturkan pernah perjalanan hidupnya kepada Yandi M. Rofiyandi, Cheta Nilawaty, dan fotografer Dwianto Wibowo dari Tempo tahun lalu. Kisah perjalanan Sudomo ini ditulis dalam rubrik Memoar Majalah Tempo edisi 27 Juni 2011.
"Kalau kamu suka menolong orang lain, suatu saat pasti akan ada orang menolong ketika kamu sedang dalam kesulitan."
Itulah pesan yang selalu saya ingat dari mendiang ayah: Kastawi Martomihardjo. Ayah saya adalah guru dan penilik sekolah lulusan Sekolah Normal—sekolah pendidikan guru zaman Belanda—di Blitar, Jawa Timur. Ayah merupakan orang Indonesia pertama di Probolinggo, Jawa Timur, yang menjadi kepala sekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), setingkat sekolah dasar, pada 1942. Sedangkan ibu saya, Saleha, mengurus rumah tangga.
Saya lahir pada 20 September 1926 di Jalan Embong Arab Gang 4, Malang, Jawa Timur. Sekarang namanya menjadi Jalan Syarif al-Qodri, tapi masih dikenal sebagai Kampung Arab. Saya anak pertama dari lima bersaudara, tiga laki-laki dan dua perempuan. Saya pindah ke Probolinggo karena Ayah bertugas di sana. Saya juga memulai pendidikan di HIS Probolinggo.
Lulus dari HIS pada 1939, saya melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama, di Probolinggo. Pendidikan saya terputus ketika Jepang menggusur penjajah Belanda. Lembaga pendidikan berbahasa Belanda banyak yang bubar, termasuk MULO Probolinggo. Saya meneruskan pendidikan ke sekolah negeri di Jalan Celaket, Malang, dan lulus pada 1943.
Kendati tinggal dalam lingkungan keluarga guru, saya bercita-cita menjadi insinyur. Tak pernah terpikir untuk masuk tentara, apalagi mencapai bintang empat angkatan laut. Sampai akhirnya ada tim rekrutmen dari Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) untuk masuk angkatan kedua. Sekolah ini mempersiapkan mualim—sebagai perwira dek dan perwira mesin—dalam pelayaran antarpulau. Saya terkesima oleh penampilan para pelaut ini: pakaian seragam biru gelap dan peci biru dengan tanda kemudi.
Saya akhirnya diterima di SPT Cilacap, Jawa Tengah. Inilah jalan hidup. Sebelumnya, saya gagal masuk tes calon perwira tentara Pembela Tanah Air di Surabaya. Saya kecewa ketika dinyatakan gagal karena memiliki amandel. Namun, kekecewaan itu hanya selintas karena kebetulan tim rekrutmen SPT datang. Tanpa pikir panjang, saya mendaftar dan diterima.
Saya masuk sepuluh besar di sekolah pelayaran dan diangkat menjadi guru di SPT Pasuruan, Jawa Timur. Ketika proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut, lembaga keamanan nonmiliter. Selang sehari, sekolah di Pasuruan membentuk BKR.
BKR Pasuruan lalu berubah menjadi Angkatan Laut Batalion III Pangkalan IX. Saya mendapat pangkat letnan sebagai perwira logistik. Pada Desember 1948, saya ditetapkan sebagai orang kedua, di bawah Mayor John Lie, dalam kapal PPB-58 LB. Pelayaran pertama menuju Phuket, Thailand, membawa karet untuk ditukar dengan senjata. Karena kepiawaian John Lie—dikenal sebagai The Smuggler with the Bible—kapal dengan misi menyuplai senjata buat pasukan Indonesia ini selalu aman.
Saya juga terjun dalam pertempuran menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan pada 1950. Sebagai Kepala Staf Operasi IV Markas Besar Angkatan Laut, saya juga bertugas menyiapkan operasi militer menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958. Saya menjalani semua operasi itu tanpa rasa takut. Militer sudah teken mati dalam setiap operasi.
"…all is yours, and make the best of it."
Saya lega mendengar perkataan Jenderal TNI Soemitro yang memegang kendali Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) itu. Saya mendapat kepercayaan dan dukungan dalam menjalankan tugas sebagai Wakil Panglima Kopkamtib pada Maret 1973. Tugas ini penuh tantangan. Seorang laksamana yang biasa bertempur di laut kini menghadapi masyarakat.
Baru lima bulan menjabat, saya mendapat tantangan ketika terjadi kerusuhan di Bandung. Namun peristiwa besar ketika saya menjabat terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa yang dikenal sebagai Malapetaka 15 Januari atau Malari ini membakar sebagian Jakarta. Kerusuhan pecah saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Jakarta pada 14-17 Januari 1974.
Mahasiswa menyambut kedatangan Tanaka dengan aksi damai yang dimotori Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Hariman Siregar. Meski banyak spekulasi tentang penyebab peristiwa ini, saya melihat gerakan itu dimanfaatkan kelompok tertentu sehingga terjadi kerusuhan. Saya ditugasi Panglima Kopkamtib mengendalikan kerusuhan. Prioritasnya mendatangkan tambahan pasukan dari Kodam Brawijaya dan Diponegoro untuk menjaga Istana.
Tanaka pulang ke Jepang pada 17 Januari. Saya menghadap Soemitro dan meminta berhenti karena merasa tak bisa melaksanakan tanggung jawab mengamankan Jakarta. Soemitro—teman sekolah dasar saya di Probolinggo—menolak permohonan itu. Besoknya, Soeharto mengadakan pertemuan. Saya dan Soemitro hadir bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal Panggabean, Menteri-Sekretaris Negara Sudharmono, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Sutopo Yuwono, serta asisten pribadi Presiden, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
Soeharto mengambil alih jabatan Panglima Kopkamtib dan mencopot Soemitro. Jabatan Wakil Kopkamtib dan asisten pribadi dihapuskan. Saya digeser menjadi Kepala Staf Kopkamtib, yang menjadi pelaksana tugas harian. Pemerintah menutup media massa seperti Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Pedoman, dan Ekspres.
Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1978, saya melarang sejumlah media massa terbit. Alasannya, pemberitaan itu bersifat menghasut sehingga bisa menjadi ancaman terhadap keamanan dan ketertiban. Besoknya, 21 Januari 1978, Kopkamtib membekukan kegiatan mahasiswa di semua perguruan tinggi di Indonesia. Keputusan Kopkamtib itu dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef tentang pemberlakuan program Normalisasi Kehidupan Kampus.
Saya diangkat menjadi Panglima Kopkamtib sekaligus Wakil Panglima ABRI pada 28 Maret 1978. Panglima memiliki kewenangan yang hampir tak terbatas untuk kepentingan stabilitas pertahanan dan keamanan nasional. Kopkamtib muncul untuk menjaga kampanye pemilu, menggelar Operasi Sapu Jagat yang menyita senjata api dari penduduk sipil, dan membantu menyelesaikan mogok pilot Garuda.
Dalam konteks sekarang, saya menilai negara memerlukan undang-undang yang ditakuti dan orang yang bisa melaksanakannya, seperti Panglima Kopkamtib. Saya menggunakan konsep pencegahan dalam beberapa tahap. Pertama-tama, dinasihati, diajak bicara, dan ditahan, tapi tak diajukan ke pengadilan. Lalu akan dicek dan dinasihati lagi. Kalau masih tak berubah, baru diajukan ke pengadilan.
(tempo.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar