The Naked Traveler |
Posted: 28 Dec 2017 06:52 AM PST Tulisan ini bermula di Banda Naira. Suatu malam di kota kecil itu ada acara pesta pernikahan dengan dangdutan. Saya yang doyan ikutan acara-acara penduduk lokal tentu menyambut gembira dan ikutan joget. Tapi salah seorang teman saya yang anak Jakarta ternyata tidak bisa joget dangdut sama sekali! Maka saya pun memberikan kursus kilat kepadanya. Dia yang biasa joget di club dengan trance music ternyata mengalami kesulitan joget lebih slow, padahal dangdut kan cuma maju-mundur doang. Saya jadi berusaha mengingat kembali, kapan pertama kali saya berjoget dangdut dan pada acara apa. Sebagai seorang yang bisa joget dan pede joget di tempat umum, rasanya saya nggak pake belajar joget dangdut. Rasanya tinggal ngikutin ketukannya aja. Pertama kali saya dangdutan (di depan umum) mungkin pas SD di acara pesta adat yang kadang disempili acara joget dangdut dan saya disempilin duit di jari. Selanjutnya joget di kawinan tetangga, acara kampus, pas KKN, dan sebagainya. Jadi joget dangdut udah kayak alamiah aja gitu. Yah mungkin karena saya ndeso. Kembali ke Banda, pesta dangdut di kawinan itu dihadiri banyak orang. Pria dan wanita duduk terpisah. Begitu lagu mulai, otomatis mereka joget membentuk satu jejer – pria menghadap wanita. Lagu habis, orang duduk lagi. Begitu seterusnya. Pernah sampai lama duduk karena laptop DJ hang! Hehe! Suasananya kayak dangdutan di kawinan Wakatobi yang pernah saya datangi, hanya di sana lebih tertib; joget lebih beraturan, muka lebih lempeng, maju-mundur bareng di dalam satu jejer. Yang joget hanya ketika pria mengajak wanita, jadi pasti berpasangan. Di Jakarta, pesta kawin rumahan sering ada pesta dangdut. Mungkin karena dulu saya tinggal di daerah pinggiran. Saat ini pun tinggal di (sebelah) kompleks kuburan Tanah Kusir, dangdutan masih eksis – bahkan dengan cueknya orang joget-joget di kuburan! Bahkan sejak kuburan telah dirombak jadi ruang umum, pesta dangdut semakin merajalela – dengan alasan kampanye politik sampai kawinan. Ya ampyun, saya sampe nggak bisa tidur karena berisik! Terakhir pesta dangdutan ketika tetangga bikin pesta sunatan anaknya. Panggung dipasang di samping kuburan. Semalaman orkes dangdut dan beberapa penyanyi cewek menghibur warga. Saya jadi jengah karena para penyanyi yang pake baju ketat, belahan dada rendah, dan rok mini itu berjoget vulgar, sementara si anak yang disunat baru berusia 10 tahun bersama teman-teman sebayanya menonton! Gilanya lagi, sebagian bapak-bapak 'nyawer' (menyelipkan uang) kepada penyanyi di atas panggung sambil berjoget pake ngelaba ke penyanyinya! Ewww! Lama-lama botol miras beredar di sekitar saya dan saya ditawari juga. Ih! Saya bertanya kepada pembokat saya, "Ini kapan gue joget dong?" Jawabnya, "Kalo mau joget ya harus naik panggung dan nyawer." Lha, padahal hanya para pria yang nyawer yang bisa berjoget. Saya dan penonton di bawah hanya bisa cengo nonton – apanya yang menghibur coba? Nggak seru nggak bisa ikutan joget! Belakangan terjadilah adegan klasik: seorang bapak mabuk sedang berjoget mesra dengan penyanyi bahenol, tiba-tiba ada seorang ibu naik panggung dan menjewer si bapak nyuruh pulang! Jiaaah, tercyduk sama istrinya! Saya jadi ingat dangdutan ala Peru di Iquitos. Malam minggu ada panggung di alun-alun kota yang genre musiknya disebut Cumbia. Mirip lah sama dangdut, jadi saya pun gampang aja ngikutinnya pas joget sama ratusan orang lokal. Pemain musik dan penyanyi mayoritas pria yang pake seragam baju jas putih. Gilanya, penyanyinya didampingi para penari latar yang berjoget memakai… bikini! Iya, cuman pake beha dan celana dalam berpayet-payet. Buset! Beberapa kota lainnya di Peru pun sering mengadakan pesta Cumbia gratis, jadi lumayan lah bagi saya ada hiburan dan olah raga dikit. Dua bulan di Peru saya memang sering mendengarkan lagu Cumbia diputar di mana-mana. Orang yang ngikutin juga sama kayak denger dangdut; mata merem-melek, kepala goyang-goyang, bibir digigit, jari jempol terangkat. Seperti lagu Project Pop yang berjudul "Dangdut is the Music of my Country", harusnya kita bangga dengan dangdut. Masih banyak dari kita gengsi joget atau bahkan hanya mendengar dangdut karena jaim takut dianggap seleranya kelas bawah. Padahal kalau kita bisa mengelevasi dangdut menjadi musik khas Indonesia, bisa jadi daya tarik bagi dunia luar. Siapa tahu bisa sekelas Salsa atau Tango yang dipelajari banyak orang di seluruh dunia di luar negara asalnya. Oke, itu lebay. Mungkin bisa jadi sekelas Cumbia yang jadi folk dance di negara-negara Amerika Latin, tanpa harus nyawer atau hanya bisa menonton doang. Hidup dangdut! Baidewei, lagu dangdut apa favoritmu? Sekarang sih saya lagi seneng denger "Sayang"-nya Via Vallen. |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar