The Naked Traveler |
- Traveling di Turki pada masa pandemi
- Lokasi Film “Trinity Traveler” yang Kece!
- Drama Bolivia
- Mari bantu warga di destinasi wisata!
- The Jomblo Traveler
- Tinker Bell Kenthir!
- [Buku baru] The Naked Traveler: 1 Year Round-the-World Trip
- Cantiknya Shirakawa-go dan Jepang Tengah pada musim dingin
- Cara Berburu Tiket Murah
- Santai di Kansai!
Traveling di Turki pada masa pandemi Posted: 06 Oct 2020 06:06 AM PDT Karena pandemi Covid-19, sudah tujuh bulan saya di rumah aja. Giliran PSBB dilonggarkan, eh warga Indonesia dilarang masuk oleh puluhan negara. Nggak usah ditanya gimana rasanya saya yang hidupnya di jalan harus terkungkung sekian lama! Begitu Turki buka border bagi seluruh warga negara di dunia mulai Juli 2020, saya langsung gatel pengin pergi, tapi… masih parno sama corona! Saya pun riset sana-sini. Kesimpulannya: grafik kasus Covid-19 di Turki sudah melandai, sementara di kita masih terus naik. Bahkan pemerintah Turki telah menerapkan Safe Tourism Certification Program untuk mensertifikasi fasilitas pariwisata dan memastikan kesehatan dan keamanan para pekerja dan pengunjung. Lembaga yang telah terakreditasi memeriksa dan menilai fasilitas tersebut secara berkala sesuai standar internasional. Bila sudah lolos, maka fasilitas tersebut diberikan logo, QR code dan diumukan ke publik sehingga semua orang bisa mengakses data pemeriksaan. Jadi bukan hanya sekedar cek suhu dan pakai masker doang. Namun agar lebih aman lagi, saya membuat itinerary yang banyak aktivitas outdoor yaitu di sekitar pantai Mediterania. Terbangnya harus naik Turkish Airlines karena merupakan satu-satunya maskapai yang direct flight Jakarta-Istanbul. Lalu harus private tour dengan hotel, restoran, dan transportasi yang sudah tersertifikasi Safe Tourism, termasuk asuransi bila saya terkena Covid-19. Bahkan guide dan supirnya aja saya minta rapid test dulu. Setelah semua dipastikan, saya dan sahabat saya, Sri, berangkat pada 19 September 2020. Apa perbedaannya traveling di masa kenormalan baru ini? Pertama, Turkish Airlines menerapkan kebijakan bahwa tidak boleh bawa koper kabin, jadi bolehnya bawa tas kecil dengan maksimum berat 4 kg. Alasannya, kabin tidak boleh dibuka karena akan membuat para penumpang berebutan koper sambil berdiri sehingga lebih beresiko penyebaran virus. Begitu masuk pesawat, biasanya kita dapat pouch berisi penutup mata, ear plugs dan sikat gigi, sekarang dapatnya hygiene kit berisi masker, alcohol wipes dan hand sanitizer. Duduknya diberi jarak. Kemarin sih, baik ekonomi dan bisnis tengahnya dikosongkan. Yang beda banget adalah sekarang tidak ada lagi makanan dan minuman panas, semua makanan dibungkus plastik di dalam kotak, minuman pun terbatas hanya botolan yang tertutup. Tidak ada lagi troli makanan yang lewat-lewat, pramugara/i benar-benar dibatasi kontaknya dengan penumpang. Tengah malam haus, saya lah yang harus berjalan ke galley untuk minta air botolan. Mendarat di bandara Istanbul, saya kaget karena bandaranya baru dan gede banget! Rupanya sudah setahun ini bandaranya dipindah ke lokasi baru, jadi nggak ada lagi bandara lama yang sumpek itu. Semua penumpang lalu di-scan suhu tubuh otomatis di bandara, lalu di imigrasi menyerahkan formulir kesehatan. Beres! Rapid test dari Indonesia saya aja nggak diperiksa sama sekali.
Dua hari pertama kami jalan-jalan di Istanbul. Ya standar turis sih ke Hagia Sophia, Blue Mosque, Topkapi Palace, Basilica Cistern, Taksim Square, Grand Bazaar, ditambah Dolmabahçe Palace. Mau update sedikit tentang Hagia Sophia yang menghebohkan warga +62 karena baru saja diubah dari museum menjadi masjid. Warga lokalnya mah biasa aja menanggapi, secara masjid juga udah banyak di sekitar situ. Perbedaannya, sekarang gambar mosaik Bunda Maria dan simbol Kristiani di dinding ditutupi, lantai dua juga ditutup, dan seluruh lantai dasar ditutupi karpet hijau. Sementara di Blue Mosque (Masjid Sultan Ahmed) sedang direnovasi besar-besaran jadi sebagian besar ditutup. Di kedua tempat itu saya tidak berlama-lama karena parno liat banyak turis di dalam ruangan! Protokolnya yang keren adalah ketika turis bule harus menutup aurat masuk ke masjid biasanya dipinjami kerudung atau jubah, sekarang dikasih kain yang sekali pakai! Selanjutnya saya melipir ke selatan Turki, tepatnya di sekitar Laut Mediterania. Dari Istanbul terbang ke Dalaman (nama kotanya bikin pengen nanya, "Dalaman lo warna apa?" Hehe!) naik Turkish Airlines yang kursi tengahnya juga dikosongin. Baru pulangnya saya terbang dari kota Antalya. Laut Mediterania atau disebut juga Laut Tengah terletak di utara benua Afrika sampai selatan benua Eropa yang garis pantainya dimiliki oleh 22 negara, mulai dari Spanyol, Italia, Kroasia, Yunani, Turki, Lebanon, Israel sampai Mesir dan Maroko. Sejarah Mediterania berperan penting dalam permulaan dan perkembangan Peradaban Barat. Dan… cowok-cowok Mediterania itu kece-kece lho! #eaaa Berenang, berjemu dan leyeh-leyeh di pantai adalah tujuan utama saya ke wilayah Mediterania. Biru lautnya memang biru banget! Nggak nyangka saya balik lagi ke sini sejak 2008 ikut trip Blue Cruise (kisahnya ada di buku "The Naked Traveler 2"). Namun kali ini highlight-nya adalah diving di Kas! Lagi-lagi nggak nyangka diving pertama saya pada 2020 malah di Turki! Laut Mediterania ini visibility-nya sampai 30an meter saking jernihnya. Saya menyelam di kedalaman 35 meter melihat shipwreck aja masih keliatan permukaan lautnya. Lanskap bawah lautnya berbentuk bebatuan besar bak pilar-pilar dengan gua-gua, tapi karang dan ikannya sepi! Ya bedalah sama kita di negara tropis. Turki (dulu disebut Asia Minor atau Anatolia) mungkin memiliki lebih banyak reruntuhan peninggalan bangsa Romawi dibanding di Italia sendiri. Sudah tiga kali ke Turki tapi masih banyak yang belum saya kunjungi. Mumpung sedang berada di propinsi Antalya, kali ini saya mengunjungi Xanthos, Patara, Demre, Aspendos, dan Perge – semuanya dibangun oleh bangsa Romawi pada abad ke-1 SM, bahkan sebagian dibangun pada periode Lycian (abad ke-5 SM) dan Hellenistik (abad ke-3 SM). Kota-kota kuno dengan pilar-pilar marmer dan toko-toko di sepanjang jalan utama dengan air mancur, amfiteater berkapasitas ribuan orang tempat pertandingan gladiator (antarmanusia maupun manusia lawan hewan buas), monumen mata air beserta aqueduct (terowongan air), tempat pemandian, basilika, makam-makam kuno yang dipahat pada batu gunung, dan lain-lain benar-benar bikin berdecak kagum! Maju banget peradaban ribuan tahun yang lalu. Hebatnya, reruntuhannya masih terpelihara dengan baik!
Ada cerita penting tentang kota Demre (dulunya bernama Myra) yang terdapat Gereja Saint Nicholas. Beliau adalah seorang Uskup di Myra yang memang terkenal suka membagi-bagikan hadiah kepada orang miskin secara sembunyi pada malam hari. Berasal dari beliaulah figur Sinterklaas dikenal di Eropa, lalu berkembang menjadi Santa Claus di Amerika dengan percampuran budaya dan kepentingan komersial. Jadi Santa Claus ternyata berasal dari Turki, gaes!
Soal makan, saya strict banget hanya mau makan di restoran yang outdoor karena pas makan akan lepas masker jadi perlu pertukaran udara yang baik. Kalau di Istanbul makan daging-dagingan ala kebab, di Mediterania saya makanannya ikan dan seafood. Mana propinsi Antalya merupakan salah satu penghasil sayuran dan buah-buahan terbesar di Turki, jadi saya puas makan aneka salad dan buah delima segar! Amankah Turki? Di Turki peraturannya semua orang harus pakai masker begitu keluar rumah, kalau nggak kena denda. Setiap warganya setiap keluar rumah harus mendafarkan diri pada aplikasi yang disediakan pemerintah agar diketahui pergerakannya dan untuk contact tracing. Informasi maupun peringatan tentang protokol Covid-19 tersebar di mana-mana, hampir di tiap sudut. Hebatnya lagi, hand sanitizer juga disediakan di mana-mana, bahkan di pasar sekalipun! Saya lihat semua orang memang pakai masker, cuman memang kadang ada yang melorot. Yang nggak pake masker itu justru turis-turis bule! Memang sih di luar ruangan, tapi kan mereka rombongan sebus yang nggak pake masker semua. Begitu ada turis kayak begitu lewat, saya buru-buru menjauh. Hotel yang sudah bersertifikasi Safe Tourism membersihkan fasilitasnya lebih teliti lagi, seperti handuk diplastik, bantal diplastik, alat makan dimasukan ke dalam amplop, tidak disediakan condiment (garam, merica, saus) di meja, tidak ada makanan prasmanan, menu digital. Masker surgical dan hand sanitizer diawur-awur di hotel dan restoran, sebelum masuk pintu atau lift. Bahkan tiap meja diberikan sebotol hand sanitizer sampai-sampai saya hampir meminumnya karena disangka air mineral! Traveling di masa pandemi ini membuat bawaan saya jadi tambah banyak. Baju sekali pakai. Tas selempang isinya hand sanitizer, masker ekstra (saya pakai yang surgical supaya lebih efektif), disinfektan, tisu basah, tisu kering. Di bandara dan pesawat saya tambah pakai face shield setelah masker. Setiap mau menyenderkan tangan ke meja atau mau ke WC, saya bersihkan dulu pakai disinfektan. Setiap balik ke hotel langsung mandi, ganti baju, bersihkan jam tangan dan hape, minum vitamin. Coba bayangin, minimal 15 jam sehari saya pakai masker! Buka masker aja takut, apalagi buka Tinder! Eh! Nggak apa-apa deh parno, daripada cuek. Ya kan? Intinya, di Turki pada masa pandemi ini kehidupan berjalan normal aja, semua buka dan beraktivitas seperti biasa. Bedanya pakai masker aja! Saya sampai berhenti mengoleksi foto cowok-cowok ganteng karena semua muka nggak kelihatan – untung dua guide saya ganteng abis (intip deh di Highlight Instagram @trinitytraveler)! Positifnya karena belum banyak turis, saya tidak pernah antre masuk ke tempat wisata apapun. Pengaruhnya bagi saya sendiri adalah: baru kali semua foto traveling saya pakai masker! — Tips penting: |
Lokasi Film “Trinity Traveler” yang Kece! Posted: 29 Jul 2020 10:39 AM PDT Film "Trinity Traveler" (2019) yang diadaptasi dari buku The Naked Traveler 2 sudah bisa ditonton di Netflix Indonesia mulai 16 Juli 2020. Meski filmnya berdiri sendiri-sendiri namun bisa dibilang film ini adalah sekuel dari film "Trinity, The Naked Traveler" (2017), jadi sebagian adegannya ada juga di film ini. Yang masih penasaran kenapa yang jadi Trinity adalah Maudy Ayunda, atau pengen tahu cerita tentang behind the scene dari film pertama bisa dibaca di buku The Naked Traveler 7. Dengan judul film yang ada kata "traveler"-nya, maka pasti isinya ada tentang jalan-jalannya. Nah, ini saya bocorin tempat-tempatnya ya? Kali bisa jadi inspirasi untuk destinasi jalan-jalan selanjutnya.
Ada yang sudah pernah ke tempat-tempat yang disebutkan di atas? Kalau belum, yuk lah cus ditonton aja di Netflix! |
Posted: 20 Jun 2020 05:09 AM PDT Dari dulu cita-cita saya ke Bolivia karena pengin ke Salar de Uyuni, ladang garam terbesar di dunia. Kalau sudah baca buku The Naked Traveler: 1 Year Round-the-World Trip, pada 2013 saya udah pernah segitu dekatnya dengan Bolivia, eh sampai di perbatasan Peru-Bolivia saya ditendang! Kesempatan itu datang lagi ketika saya mendapat beasiswa Residensi Penulis lima tahun kemudian. Tapi masuk Bolivia tidak semudah itu, Ferguso! Di medsos dan media online diberitakan bahwa WNI yang mau masuk Bolivia bisa pakai e-visa atau bermodalkan paspor doang, tapi itu hoax! Tau nggak, menurut Bolivia, Indonesia itu masuk ke Negara Kategori 3 alias yang kasta terendah barengan Afghanistan, Syria, Iraq dan Sudan! Kasian banget ya kita? Intinya kita tetep harus apply visa. Sialnya lagi, di Indonesia nggak ada Kedutaan Besar Bolivia. Paling dekat ada di Beijing, Seoul atau Tokyo – yhaa, bikin visa lagi! Untungnya saya lagi tinggal sementara di Peru, maka saya apply visa di Kedutaan Besar Bolivia di Lima yang jaraknya hanya dua blok dari rumah. Formulirnya memang online (kayak e-visa), tapi abis itu harus diserahkan sendiri ke kedutaan. Syarat lain adalah punya kartu kuning (vaksin yellow fever), booking-an hotel per hari, tiket pesawat pp, dan rekening koran. Sebelum masuk kedutaan aja masih harus antre panas-panasan di trotoar, udah kayak mau nyari suaka ke negara adidaya. Oh ya, ngomong sama satpam dan petugas visa harus dalam bahasa Spanyol lho ini! Pas rekening koran saya diperiksa, saya diketawain karena berupa fotokopi buku tabungan bank di Indonesia yang dia nggak ngerti bahasanya. Saya jelaskan kondisi saya dan minta dicarikan solusi. Katanya boleh fotokopi kartu kredit aja. Saya pun minta izin pulang dulu untuk kasih berkasnya. Cus, dalam waktu setengah jam saya udah balik lagi ke kedutaan. Setelah dokumen diserahkan, katanya akan dikabari ke nomor hape Peru saya. Eh, sampai dua minggu kemudian nggak ada kabar! Saya minta tolong teman orang Peru telepon ke kedutaan biar lancar ngoceh. Kata kedutaan saya harus bayar visa USD 30 ke bank dulu berdasarkan nomor aplikasi. Saya sampe senewen harus transfer duit di bank dalam bahasa Spanyol! Sialnya, berkali-kali ditolak karena salah nomor. Saya pun lari ke kedutaan untuk komplain, lalu dikasih nomor lain, ke bank lagi, ke kedutaan lagi. Tiga hari kemudian barulah visa saya jadi. Itu pun berbentuk kertas fotokopian yang ditempel di paspor. Huu, dasar kismin! Beberapa hari kemudian saya terbang dari Lima tengah malam dan mendarat di Santa Cruz jam 3.45 pagi. Drama belum selesai. Begitu saya menyerahkan paspor ke petugas imigrasi Bolivia, tiba-tiba dia berteriak, "INDONESIAA!" sambil berdiri mengacung-acungkan paspor saya di udara dan menunjuk-nunjuk saya dengan jari telunjuknya. Seketika semua orang menoleh ke arah saya. Anjir, kayak ketemu buronan FBI aja! Saya pasang muka blo'on aja. Si petugas pergi ke kantor bosnya, ngomong-ngomong, lalu balik lagi. Mulailah saya ditanya macam-macam: mau ngapain, berapa lama, ke mana aja, duitnya berapa, dll, dsb – dalam bahasa Spanyol. Bangga juga saya bisa jawab semua. Akhirnya paspor saya dicap dan saya mencari ransel saya yang sudah digeletakkan di lantai saking lamanya interogasi. Sebenarnya di Santa Cruz saya hanya transit sebelum terbang ke Guayaramerin. Di sana saya akan bertemu narasumber seorang pastor WNI yang bertugas di pedalaman Amazon. Penerbangan selanjutnya jam 10 pagi, jadi masih lama. Saya pun menyalakan hape, eh mati! Bukan internet aja, tapi mati seluruh service karena tidak ada kerja sama jaringan, baik dengan operator hape Peru maupun Indonesia! WiFi gratis di bandara? Boro-boro! WiFi di sana sama sekali nggak terdeteksi. Widih, udah kayak di Kuba aja! Karena lapar, saya makan di kafe. Eh, mereka tidak terima kartu debit maupun kartu kredit, jadi harus cash. Pergi lah saya ke ATM di lantai dua. Ada 10 ATM dari bank berbeda tapi tidak satupun bisa narik duit pake 2 kartu debit bank besar di Indonesia, meski ada lambang Visa dan Cirrus sekalipun! Gila banget ini negara! Akhirnya saya balik lagi ke kafe dengan membayar pake uang Sol Peru yang tersisa – untungnya cukup. Lalu saya berpikir keras: gimana caranya hidup di Bolivia kalo nggak punya duit sama sekali? Jam 10 saya terbang dengan rute Santa Cruz – Trinidad – Riberalta – Guayaramerin. Iya, tiga kali naik pesawat! Nama maskapainya Amaszonas. Pesawatnya kecil model baling-baling dengan kapasitas 30-an kursi. Drama pun berlanjut di dalam pesawat. Ternyata peragaan keselamatan dari pramugari hanya dalam bahasa Spanyol! Kirain bahasa Inggris itu bahasa standar maskapai seluruh dunia, tapi tidak berlaku di Bolivia. Yang bikin stres adalah kelakuan penumpang Bolivia: hampir semuanya ngobrol di hape dengan suara keras, bahkan sampai pesawatnya sudah take off! Saya yang udah naik darah menyuruh ibu-ibu di sebelah saya untuk mematikan hapenya, eh dicuekin! Tiga kali naik pesawat, tiga kali kejadian tadi terulang. Karena tiap transit kami harus turun, yang bikin syok adalah bandaranya. Di Trinidad masih mending lah karena merupakan ibu kota kabupaten, jadi masih ada temboknya. Tembok? Iya, bandara Riberalta itu nggak ada temboknya, malah merupakan bandara terburuk di dunia yang pernah saya datangi! Booo, itu kayak bengkel jorok berlantai tanah dan beratap seng dengan bangku-bangku kayu yang reyot! Terakhir di Guayaramerin bandaranya kayak garasi, cuman dikasih tiang dan atap seng, ya nggak ada tembok juga. Setelah nyaris 5 jam terbang, saya cuman bisa ngakak sendiri melihat koper-koper bagasi digeletakin aja gitu di tanah dan kita berebutan ngambilnya! Singkat cerita, urusan perduitan pun beres karena ada yang minjemin. Dalam dua minggu di Bolivia, saya sempat ke Brazil dari Guayaramerin (hanya tinggal menyebrangi sungai), keliling Santa Cruz (kota terbesar di Bolivia dan ibu kota finansial), keliling La Paz (ibu kota tertinggi di dunia dengan ketinggian 3.640 mdpl atau setinggi Gunung Semeru), dan akhirnya tercita juga capai-capai saya ke Salar de Uyuni (padang garam terbesar di dunia)! (Not so) Fun fact: Udah segitu susahnya WNI masuk Bolivia, eh kalo WN Bolivia masuk Indonesia dapat BEBAS visa dan gratis! Duh, nggak ada harga dirinya ya? |
Mari bantu warga di destinasi wisata! Posted: 23 May 2020 12:58 AM PDT Sudah hampir tiga bulan kita semua #dirumahaja demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Ini rekor terlama saya tidak traveling kemana pun. Walau sudah gatel pengen jalan-jalan, tapi sepertinya kita semua masih harus bersabar, demi keadaan yang lebih baik. Suatu hari saya teringat warga lokal yang ada di destinasi wisata. Kalau tidak ada pengunjung, lalu bagaimana mereka mendapatkan penghasilan? Mereka yang menggantungkan hidupnya di tempat wisata, jalanan dan tempat-tempat umum lainnya penghasilannya terputus dan kini harus berjuang melawan ancaman kelaparan. Bukan hanya mengancam dirinya, tapi juga keluarganya. Selama ini mereka menjaga destinasi yang kita cintai, sekarang saatnya kita tolong mereka melewati masa pandemi. Saya mau mengajak teman-teman menyisihkan bantuan untuk mereka dengan cara berdonasi. Donasi yang terkumpul akan diberikan dalam bentuk sembako. Sembako ini akan didistribusikan ke berbagai kota dan diberikan kepada warga di daerah wisata terdampak Covid-19. Setiap paket sembako berisi kebutuhan pangan selama 1 bulan. Walaupun kita tidak bisa memberikan bantuan langsung ke tempat itu, tapi kepedulian kita akan sampai di sana. Inilah kepedulian sederhana yang bisa kita lakukan dari rumah. Selamatkan puluhan ribu orang dari ancaman kelaparan dengan cara: Terima kasih! |
Posted: 01 May 2020 03:15 AM PDT Sudah setua gini, masih ada aja orang yang nanya ke saya, "Kapan menikah? Kok masih jomblo aja?". Nah, ini saya kasih jawaban yang agak panjang mengenai pemikiran saya terhadap pernikahan dan status kejombloan saya. Pertama, diperlukan lingkungan yang stabil untuk menjalin suatu hubungan percintaan. Makanya jauh lebih mudah pacaran zaman kuliah dan jadi MMK (Mbak-Mbak Kantoran) daripada setelah jadi full time traveler dan freelance writer. Ingat pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino? Lingkungan kampus dan kantor itu membuat kita bertemu dengan orang yang sama dalam waktu yang lama – yang bikin lama-lama tumbuh rasa saling suka karena terbiasa bersama. Kerja kantoran pun udah jelas jam kerjanya, liburnya 2 minggu setahun. Makanya kalau diajak kencan jadi gampang: kalau nggak pas pulang kantor, ya weekend. Masalahnya, dengan jenis pekerjaan saya, urusan percintaan ini menjadi sungguh rumit. Sahabat sendiri aja kalo mau ketemuan nanya dulu, "Lo lagi ada di Jakarta nggak?" – apalagi cowok yang mau ngajak kencan! Setiap mau ketemuan, ada aja jadwal trip. Pembicaraan ini klasik banget dan sering terjadi; Bagaimana dengan cinlok? Kan sering traveling ke seluruh dunia, masa nggak ada yang nyangkut? Gini ya. Cinlok sih sering. Pake banget malah. Tapi itu bisa dikatakan hanya sebatas "holiday fling" alias gebetan selama liburan doang. Namanya juga liburan di tempat baru, segalanya jadi lebih indah, mood jadi baik, perasaan jadi bergejolak. Begitu ketemu yang cocok, rasanya langsung jatuh cinta. Makan bareng, minum bareng, jalan bareng… sampai akhirnya berpisah. Dari awal juga udah sadar bahwa akhirnya akan begini. Sesama traveler itu sudah tahu bahwa yang satu akan menuju ke tempat lain, yang satunya lagi juga. Kadang memang bisa berubah destinasi karena salah satu mau ngikut barengan, tapi waktu juga akhirnya yang bikin kisah selesai. Salah satu liburannya habis, salah satu harus pulang. Yaaaah…! Memang tidak semua berakhir kayak begini. Saya lah saksi dari sekian banyaknya teman jalan saya yang berjodoh karena ketemu pas lagi traveling antara orang asing dan orang lokal atau antara sesama traveler antarbangsa. Cewek Inggris dengan cowok India, cowok Amerika dengan cewek Kolombia, cowok Prancis dengan cewek Spanyol, cewek Austria dengan cowok New Zealand, dan lain-lain. Dengan paspor dari negara maju, mereka sih enak aja tinggal pindah ke negara manapun ngikutin pasangannya. Mereka bisa tinggal dan kerja di mana saja. Apalagi kulit putih yang tinggal di negara berkembang, mereka dipuja dan lapangan kerja lebih terbuka. Nah, gimana caranya dengan pemegang paspor Indonesia? Wah, sulit banget! Udah visa dapetnya susah, lama tinggal terbatas, mau kerja juga nggak bisa karena cuma punya visa turis. Karena paspor ini lah kita nggak bisa seimpulsif bule yang main pergi aja demi mengejar cinta. Kalau untung, bisa sih kita disponsori pasangan untuk tinggal di sana. Dengan kondisi belum dinikahin, jadi mikir gimana dengan keluarga kita di sini? Trus, di sana kita ngapain? Sebaliknya kalau cowoknya mau tinggal di Indonesia, gimana caranya? Kalau bukan expat yang bekerja di kantor besar atau pengusaha beneran, bikin KITAS itu susah, harganya pun mahal bener. Kecuali mau bela-belain cara visa run yang tiap sebulan sekali ke luar negeri baru masuk Indonesia lagi. Pernah mencoba LDR (long distance relationship), tapi lama-lama siapa yang kuat? Mau chatting beda zona waktu, mau saling mengunjungi ongkosnya mahal. Hadeuh, pelik! Kalau sudah nonton film Trinity Traveler, tokoh Paul yang diperankan Hamish Daud itu adalah contoh standar hubungan saya dengan cowok. Kenalan pas traveling, jalan bareng, trus bubar entah ke mana. Mungkin karena sesama traveler yang susah dipegang buntutnya. Cinta bagi saya maknanya dalam banget, tapi pernikahan itu jauh lebih dalam. Saya berprinsip menikah itu hanya sekali seumur hidup, jadi pertimbangannya makin panjang. Memang benar zaman masih muda kita bebas milih yang kita suka, semakin tua pilihan semakin nggak ada. Tapi itu bukan berarti kita memilih sembarangan hanya demi menikah. Makanya saya paling sebal kalau dituduh, "Elo sih picky!" Ebuset! Beli baju aja kita kudu milih yang terbaik, masa suami kita nggak milih – padahal akan tidur seranjang sepanjang hidup kita! Prinsip saya yang lain: saya nggak bakal bela-belain menikah kalau hidup saya nantinya tidak lebih baik, atau minimal sama, dengan hidup saya sekarang. Pembokat saya aja punya prinsip, "Kalo udah kawin tapi gue masih jadi babu juga mah males!" Nah, kan? Maklum, orang Indonesia itu kebanyakan memang live in fear (hidup dalam ketakutan). Takut nggak laku, takut nggak menikah, takut nggak punya anak, takut nggak ada yang ngurus saat tua, takut jadi omongan, takut ini, takut itu. Akhirnya jadi menikah karena segala ketakutan-ketakutan itu. Beberapa kenalan saya "berhasil" menikah dengan sistem dijodohin pemuka agama karena tekanan lingkungan, ada juga yang menikah karena orang tua udah sakit-sakitan, karena ini-itu. Sungguh saya salut dengan mereka yang mau berbuat demikian demi "kebahagian" orang lain. Kalau zaman dulu memang menikah itu merupakan suatu norma, suatu keharusan. Tapi sekarang kita punya pilihan untuk tidak menikah kok – asal berani tidak live in fear. Bodo amat kata orang kasarnya. Coba kalian tanya kepada orang yang sudah menikah, "Enak nggak sih menikah?", jawabannya kalau beneran jujur kebanyakan adalah, "Kalo gue boleh milih untuk nggak nikah, mending nggak deh. Enakan single. Bebas!". Tapi kalau kalian tanya kepada jomblo, "Mau nggak menikah?", kebanyakan jawabannya, "Gue tetep pengen nikah!" Rumput tetangga memang tampak lebih hijau, tapi coba tanya lagi ke diri sendiri: apakah alasanmu ingin menikah? Kalau ditanya apakah saya mau menikah, saya tetap mau. Alasannya karena belum pernah. Penasaran aja dari milyaran lelaki di muka bumi, siapakah lelaki beruntung itu yang bisa menaklukan saya? Hehe! Yang jelas, menikah itu bakal jadi the biggest adventure in my life! Meski tidak punya beban dan tekanan, saya masih perempuan normal yang naksir cowok dan usaha kok. Tapi memang saya tidak mau punya anak. Mohon tidak menuduh saya macam-macam. Menurut saya, punya anak itu merupakan suatu tanggung jawab yang amat besar. Dan terus terang saya malas bertanggung jawab sebesar itu. Lagipula, bumi kita sudah kebanyakan manusia yang makin lama makin mengancurkan bumi sendiri. Kebanyakan orang Indonesia punya anak alasannya pamrih – supaya ada yang mendoakan, supaya ada yang mengurus saat tua. Setelah "berinvestasi" kepada si anak dengan harapan si anak akan membalas nantinya, maka orang tua punya banyak harapan kepada si anak. Ketika si anak tidak memenuhi harapan orang tua, aduh bayangkan betapa kecewanya. Saya tidak mau jadi orang yang pamrih begini. Nah ini jadi tambah susah bagi saya. Siapa juga orang yang mau menikahi perempuan yang tidak mau punya anak? Tapi mungkin Tuhan punya jalan lain. Seringnya ada seorang anak di dalam keluarga yang "dibiarkan" jomblo karena untuk mengurus orang tuanya yang renta dan sakit. Saya adalah salah satunya diberi berkah begitu. Bahkan saya merasa bersyukur nggak punya anak karena anak saya nggak bakal merasakan sedihnya ditinggal orang tua, dan sebaliknya. Saya sendiri pede aja nggak punya anak. Yang penting saya tidak menyusahkan orang lain. Tujuan finansial saya adalah bila nanti saya jompo dan sakit-sakitan, uang tabungan dan asuransi saya mampu bayar suster atau perawatan di RS. Sedangkan dalam kepercayaan saya, masuk surga atau tidak itu adalah hak prerogatif Tuhan, jadi tidak tergantung doa anak dan anakpun tidak tergantung doa saya. Pertanyaan selanjutnya: apakah karena kebanyakan traveling maka saya jomblo? Atau karena jomblo maka saya traveling? Tenang aja, ada banyak cewek lain yang masih jomblo yang nggak traveling kok. Jadi jelas traveling bukan faktornya! Sementara itu, di sisa hidup saya, ya enjoy to the fullest aja. Menikah syukur, tidak menikah pun syukur. Kebahagiaan itu bukan tergantung dari orang lain kok. Life is too short to live in fear! |
Posted: 31 Mar 2020 10:01 PM PDT Ini sepenggal cerita pada saat #TNTrtw (perjalanan saya keliling dunia setahun penuh ke 22 negara) yang tidak jadi dimasukkan ke dalam buku "The Naked Traveler: 1 Year Round-the-World Trip" di sini maupun di sini karena merupakan tindakan ilegal. Mohon tidak ditiru! Moskow, Rusia, hari ke-1 #TNTrtw Malam pertama di Moskow, saya berbelanja ke minimarket yang berjarak dua blok dari hostel. Setelah mengambil barang seperlunya, saya mengantri di kasir. Ternyata jumlah uang Rubel yang tertera di mesin kasir ada angka sen jadi mending bayar pakai uang koin. Saya pun merogoh dompet koin yang terpisah dari dompet utama. Karena antrian panjang, supaya cepat saya balik isi dompet sampai koinnya tumpah. Cring! Cring! Saya terus membalik dompet sampai… sesuatu berwarna putih melayang… pelan-pelan jatuh di meja kasir tanpa bunyi… Jantung saya seketika berhenti. Mbak kasir melotot. Yasmin menjerit. Orang-orang menganga. Dunia seakan berhenti beberapa detik. Benda putih itu adalah… selinting cimeng! Oh, shit! Belum sempat bernapas, saya sok cool memungut lintingan tersebut dengan tangan gemetaran. Dem, gimana ceritanya cimeng ada di dalam dompet? Doh, kenapa juga sebelum berangkat nggak diperiksa dulu dalamnya dompet? Eh, jadiiii… perjalanan dari Jakarta sampai Moskow via Doha saya bawa cimeng di dalam tas kabin?! Gimana kalo dipenjara di Rusia coba? Atau, mati digantung di Qatar?! "LU GILA BAWA CIMENG KE RUSIA! GIMANA KALO KETANGKEP KGB? BUANG SANA CEPAAAT!", tiba-tiba suara Yasmin yang melengking memecah kesunyian. Kami pun buru-buru lari kabuuurrr!!! Sampai di hostel, saya segera membuang ke toilet dan mem-flush-nya. Ffuih! I love you but no thank you! Isla Grande, Kolombia, hari ke-238 #TNTrtw Di sebuah pulau terpencil di utara Cartagena, saya lagi asyik berenang di pantai berpasir putih. Tiba-tiba… ada cowok muncul dari dalam air! Aww, saya yang 'nggak kuat' sama cowok yang jago berenang otomatis langsung saya ajak kenalan. Cowok Kolombia ini mukanya biasa aja, tapi orangnya sangat menyenangkan, dan yang terpenting, jago bahasa Inggris – ia ternyata manager hotel sebelah. Entah gimana mulainya, lagi asyik ngobrol tiba-tiba saja kami membicarakan tentang cimeng. Mungkin karena melihat tampang saya yang mupeng, dia pun menawarkan saya, "Gue ada stok nih! Mau nggak?" Jeng! Jeng! Lucu juga nih bisa nyimeng di Kolombia, berasa kayak anak buahnya Pablo Escobar! Singkat cerita, jam 8 malam cowok ini dateng ke hostel saya di tengah hutan. Saya pun mengajaknya nongkrong di Laguna Encantada – sebuah danau bioluminescence yang kayak di film "Life of Pi" dimana pada malam hari kalau kita bergerak di air, ada plankton yang menyala-nyala mengikuti gerak kita. Kami pun nyimeng sambil ngobrol dan ketawa-ketiwi di dermaga dengan kaki menjulur ke danau. Begitu kaki digerak-gerakkan, air sekeliling menyala kebiruan! Lama-lama kami nyebur dan menari-nari di dalam air. Wihh.. saya tiba-tiba berasa kayak Tinker Bell! Bisa terbang sambil dikelilingi cahaya dan mempunyai tongkat ajaib. CLING! CLING! Si cowok ini pun tiba-tiba mukanya berubah jadi Ariel Peterpan! Anjirr! Bener-bener perfect spot to get high! Medellin, Kolombia, hari ke-248 #TNTrtw Saat menginap di hostel di Medellin, dasar murah, toiletnya terletak jauh di ujung belakang rumah samping taman. Suatu pagi saat kebelet, saya buru-buru lari ke belakang, eh pintu toilet terkunci! Tak berapa lama kemudian pintu terbuka dan keluarlah asap rokok bergulung-gulung tebal! Asap pelan-pelan menghilang, lalu terlihat lah si pemilik hostel sambil terbatuk-batuk. Hmm, baunya nggak salah lagi… ini cimeng! Hayoo.. kegeb! Ide cemerlang saya pun keluar. Saya ancam, "I know what you did in the toilet. Give me one or I'll tell everybody!" Pria botak ini pun menjawab, "Plis, plis, jangan bilang-bilang! Saya kasih kamu satu deh ntar malam!" Jam 11 malam saat semua tamu hostel sudah tidur, saya mengendap-endap ke ruang tamu dan menagih cimeng ke bapak kos. Dia memberikan selinting sambil berkata, "Ini ya! Tapi syaratnya kamu harus nyimeng di dalam toilet terkunci di belakang juga, karena tetangga pernah komplen baunya. Dan hati-hati, cimeng ituvery strong!" Saya ketawa aja karena dia pasti nggak tau cimeng Indonesia juga strong banget. Saya pun nyimeng di toilet sambil duduk di kakusnya. Baru juga tiga isap, eh saya udah terbang! Uh, gimana nggak cepet giting? Nyimeng di ruangan tertutup, asapnya kan berputar di situ-situ aja, dan terhirup lagi! Baru setengah linting, saya pun menyerah. Saya berjalan balik ke ruang tamu dan mengembalikan sisanya ke bapak kos. Dia tertawa terkekeh-kekeh, "See, I told you so!" Lagi merasa kreatif, saya lalu membuka laptop untuk menulis. Eeeh.. tiba-tiba tuts di keyboard melayang satu per satu! Tanpa harus mengetik, kata-katanya sudah ada di udara yang tergabung dari tuts-tuts huruf melayang! Saya pun hanya tinggal menggeser-geser file di udara, kayak di film seri CSI! Anjirrr, efek cimeng ini keren banget! Montego Bay, Jamaika, hari ke-295 #TNTrtw Jamaika emang senegara tukang nyimeng! Harganya murah, dapatnya gampang, sehingga turis pun ikut merasakan, termasuk di hostel yang saya tinggali. Setiap malam fellow travelers dari berbagai bangsa ini ngakak-ngikik, main kartu, ngobral-ngobrol, nyebur ke kolam renang, sampe ketiduran di luar dan paginya sekujur tubuh bentol-bentol dimakan nyamuk. Malam terakhir di Montego Bay, di hostel saya asyik ngobrol sama seorang cowok kece berambut model dreadlock diiringi musik reggae dari laptop-nya di pinggir kolam renang. Perfect setting! Kurangnya cuma bahasa Inggrisnya aja kacau dengan logat Prancis yang mendengung-dengung. Entah gimana awalnya, tau-tau dia nawarin cimeng! Kami pun giting bareng, keketawaan karena bahasa Inggrisnya belibet. Sampai pada suatu saat nggak sengaja kaki saya menginjak kakinya. Tiba-tiba dia menjerit keras, "Matamu suwek! Kenthir kowe!" Saya langsung terdiam. Masalahnya saya ngerti bahasa Jawa dan itu kasar banget! Ehh.. tapiii… dia barusan ngomong bahasa Jawa bukan sih? Belum sempat mikir lain, tau-tau mulai saat itu kami berdua ngomong dalam bahasa Jawa! Saya ngakak sampe kejungkel-jungkel! Bayangkan, denger bule Prancis ngomong bahasa Jawa dengan logat medok di Jamaika! Ternyata si bule pernah tinggal di Yogyakarta setahun. Ah, sungguh absurd malam itu! Guadalajara, Meksiko, hari ke-352 #TNTrtw Malam terakhir di Guadalajara, saya lagi sibuk ngetik di lobi hostel karena internet cuma nyala di situ. Resepsionisnya seorang cowok Meksiko Utara yang ganteng lewat. Dia menyapa saya basa-basi, "Hola! Como estas?". Hmm… dari mulutnya saya mencium bau lain nih! Saya pun langsung nembak, "Baru abis nyimeng ya lo?" Dia pun tertawa, "Emang lo mau? Ntar malem ya?" Jam 11 malam saat hostel sepi, saya mengendap-endap ke lobi. Saya ditariknya ke balkon luar dan nyimeng bareng di sana. Wih, saya baru sadar hostel yang berusia ratusan tahun ini memiliki pemandangan spektakuler di malam hari karena langsung menghadap Katedral! Setiap jam, Katedral membunyikan belnya. DONG! DONG! DONG! Aduh, saya jadi tambah merasa bersalah: nyimeng di depan gereja! Namun cowok superganteng ini tidak boleh disia-siakan. Sayangnya dia nggak bisa berbahasa Inggris jadi saya terpaksa ngomong bahasa Spanyol dengan terbata-bata. Eh tapi lama-lama seru juga cowok ini karena kami keketawaan semalaman sampai berkali-kali dengar bel gereja. Ternyata kalau giting, saya makin lancar nyerocos bahasa Spanyol! Hahaha! |
[Buku baru] The Naked Traveler: 1 Year Round-the-World Trip Posted: 11 Mar 2020 06:55 AM PDT Dua buku seri The Naked Traveler terlaris ini telah terbit dan dicetak ulang berkali-kali, sampai diterbitkan edisi Republish-nya! Sebelum kehabisan, silakan pre-order di bit.ly/tntrtw Fakta menarik: kedua buku ini telah dijadikan program jalan-jalan di TV MNC Food & Travel channel sebanyak 26 episode! Mengapa wajib baca buku ini? Trinity berhasil mewujudkan mimpinya jalan-jalan selama 1 tahun penuh! Berbekal paspor hijau, Trinity telah mencapai hampir 150.000 km dan berkunjung ke 22 negara di dunia. Bukan Trinity namanya kalau tidak punya cerita apes bin ajaib selama perjalanan. Saat perjalanannya baru dimulai saja, dia sempat sakit di udara. Namun, The Naked Traveler: 1 Year Round-The-World-Trip ini menuturkan pengalaman lain yang membuka pikiran. Pengalamannya berlanjut dengan menangis di kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, menginap di penjara tua di Ljulbljana, menemukan surga dunianya di Rio de Janeiro (nanti kamu akan tahu kenapa), mendaki kota Inca yang hilang di Machu Picchu, memancing ikan piranha di Sungai Amazon, hingga berenang bersama ratusan singa laut di Galapagos! Segala keseruan ini tidak akan terwujud tanpa adanya perencanaan yang matang. Banyak persiapan mendasar seperti pemilihan isi ransel, bahan makanan, akomodasi, mengurus transportasi, sampai urus visa ke sana kemari. Dan, berbekal tekad "gimana di sanalah ntar", Trinity mantap melangkahkan kakinya dan bertualang mengitari bumi. Judul buku: “The Naked Traveler: 1 Year Round-The-World Trip (Part 1)” Mengapa wajib baca buku terusannya? Apa yang terlintas dalam pikiranmu tentang orang yang keliling dunia selama setahun penuh? Gimana kalau duitnya nggak cukup? Gimana kalau diculik? Setahun itu, kan, lama banget! Apa nggak takut gempor wara-wiri ke sana kemari? "It’s not that hard!" kata Trinity, travel writer terlaris di Indonesia, yang berhasil memenuhi rasa penasarannya berjalan-jalan hingga mencapai 150.000 km, dan berkunjung ke 22 negara di dunia! Dalam satu tahun, menginap di berbagai hostel dan naik bus dengan bermacam kondisi, dipaksa cepat beradaptasi dengan bahasa yang asing di telinga, dan mengatur menu makan sehemat mungkin, tentu bukan perkara yang mudah. Nyatanya, dengan persiapan matang dan tekad yang kuat, semua itu bisa diatasi. Dan, bukan Trinity namanya kalau tak berhasil mengubah situasi sulit jadi penuh gelak tawa. Dalam bagian kedua dari seri The Naked Traveler: 1 Year Round-the-World-Trip ini, Trinity akan lebih banyak berbagi rekomendasi dan highlight terbaik dari perjalanannya. Bersiaplah untuk berdebar-debar menyusup ke pusat kartel Kolombia, nyekar ke makam Che Guevara di Kuba, bertamu ke rumah Bob Marley di Jamaika, diving di gua suku Maya di Meksiko, hingga meluncur di air terjun di Guatemala. Judul buku: “The Naked Traveler: 1 Year Round-The-World Trip (Part 2)”
Keuntungan PO: Yuk ah, buruan cus ke bit.ly/tntrtw |
Cantiknya Shirakawa-go dan Jepang Tengah pada musim dingin Posted: 29 Feb 2020 07:23 AM PST Gambaran Jepang pada musim dingin identik dengan Shirakawa-go. Desa cantik ini memiliki keunikan berupa rumah-rumah kayu beratap tinggi yang menyerupai kedua tangan yang sedang berdoa yang disebut bergaya gassho. Sejak 200-an tahun yang lalu dibuat seperti itu karena banyaknya salju yang turun di desa yang dikelilingi pegunungan, maka keunikan ini pun masuk ke dalam UNESCO Heritage Site. Saya sudah dua kali mengunjungi Shirakawa-go pada musim dingin, pertama kali pada 2010. Meski sekarang semakin ramai, namun desa ini tetap tampak cantik. Saat turun salju tebal, sedesa terlihat hanya bangunan berbentuk segitiga, selebihnya hanya putih saja mulai dari atap sampai jalanan dan pohonnya. Bila matahari bersinar terik, salju pada atap jeraminya perlahan meluncur ke bawah. Untuk melihat interior rumah gassho dan kehidupan keluarga yang tinggal, bisa ke Kanda House, Wada House dan Nagase House. Yang suka museum bisa ke Myozenji Temple dan Gasshozukuri Minkaen Outdoor Museum. Kalau mau lihat keseluruhan desa dari ketinggian, tinggal berjalan kaki sekitar 20 menit atau naik shuttle bus dari terminal bus ke Observatory. Shirakawa-go dapat ditempuh dari kota Nagoya atau Osaka, namun masih banyak destinasi cantik lainnya di Jepang Tengah yang dapat sekalian dilalui. Saran saya, untuk menghemat biaya transportasi, beli aja Japan Rail Pass (JR Pass) yang jenis "Takayama-Hokuriku Tourist Pass". Harganya 14.260 Yen berlaku selama 5 hari berturut-turut dan bisa naik kereta/bus unlimited mulai dari Nagoya, Shirakawa-go, Kanazawa, Fukui, Kyoto, sampai Osaka dan Kansai Airport. Benar-benar worth it deh! Info lengkapnya bisa dibaca di sini. Supaya nggak pusing mau ke mana aja selain Shirakawa-go, ini saya rekomendasikan destinasi dan aktivitasnya yang unik dan bisa dijadikan acuan bikin itinerary-nya: Nagoya Untuk menikmati arsitektur modernnya kota Nagoya, langsung aja ke Oasis 21 yang nyambung dengan Nagoya TV Tower. Bangunan pusat perbelanjaan di sini unik banget, atapnya berbentuk oval terbuat dari kaca dan berisi air! Kita bisa ke atapnya untuk memandang kota dari atas, sekaligus memandang ice skating rink di bawahnya. Sebaliknya, pergilah ke Nagoya Castle untuk menikmati arsitektur kunonya. Kastil Nagoya ini dimiliki oleh Keshogunan Tokugawa yang dibangun pada 1610 dan telah direkonstruksi berkali-kali. Keunikannya ada pada atap bangunan yang terdapat patung mistikal berupa kepala harimau berbadan ikan bersalut emas sehingga berkilauan dari kejauhan. Jangan lupa untuk berjalan kaki di taman sekitarnya. Pada musim dingin, bunga plum (ume) bermekaran mirip sakura.
Takayama Takayama Old Town pada saat salju turun terasa seperti setingan film-film Jepang kuno! Sepanjang jalan terdapat bangunan tradisional terbuat dari kayu kehitaman yang dibangun pada zaman Edo (1600-1868). Meski sekarang telah jadi area komersial berupa toko, kafe, museum, dan galeri, namun orisinalitasnya terpelihara dengan sangat baik. Yang terkenal dari Takayama adalah sake-nya yang dijual di beberapa toko. Saat winter, cobain sake panas deh! Suvenir yang terkenal dari Takayama adalah Sarubobo atau boneka jimatnya orang Jepang. Nggak usah takut, ini boneka lucu kok terbuat dari kain. Mereka percaya Sarubobo warna pink bisa melancarkan jodoh, warna hitam untuk meningkatkan status sosial, kuning untuk meningkatkan keuangan, dan lain-lain. Kita bisa belajar membuatnya di kelas selama 30 menit di Hida Takayama Town Experience Centre. Rekomendasi Hotel: Associa Takayama Resort – Hotel yang dikelilingi pegunungan ini memiliki onsen sendiri dengan beberapa kolam outdoor, bahkan bisa sewa onsen private. Buffet dinner-nya di Restoran Roriere menghadiri puluhan jenis makanan yang nikmat, terutama steak-nya. Toyama Rasanya semua orang suka dengan bunga tulip. Meski terkenal berasal dari Belanda, namun di Jepang pusatnya ada di Tonami Tulip Gallery. Kabar baiknya, mereka buka sepanjang tahun termasuk musim dingin! Selain display ribuan bunga tulip yang beraneka warna, di sini kita bisa belajar sejarah tulip dan penelitian kawin silang antar tulip yang memakan waktu puluhan tahun untuk membuat satu spesies baru.
Di pusat kota Toyama sendiri terdapat Kansui Park yang mengelilingi kanal dan danau asri. Mungkin karena pemandangannya lah ada Starbucks yang digadang sebagai yang tercantik di dunia. Namun bagi saya cantiknya justru di malam hari saat air mancur dan lampu-lampu hiasan menyala di tengah danau. Kanazawa Destinasi utama di Kanazawa adalah Kanazawa Castle (kastil Klan Maeda pada 1580-1871 yang dipakai jadi Uiversitas pada 1945-1989) dan terutama Kenroku Garden yang terletak persis di sampingnya. Tamannya memang cantik banget dengan penataan yang asri, danau berair tenang, dan dikelilingi pepohonan tua yang dililit tali demi melindunginya dari beratnya salju. Supaya berasa kayak di zaman kekaisaran, saya ikut tea ceremony di Gyokusen'an Rest House. Saya dihidangi matcha (teh hijau) dan wagashi (mochi manis) oleh ibu-ibu berkimono.
Yang doyan ke pasar tradisional, wajib ke Omicho Market karena pasar ini menjual aneka seafood terutama kepiting berbagai jenis sampai yang harganya jutaan Rupiah seekor! Makan seafood segar bisa sekalian di restoran yang berada di dalam pasar, rekomendasi saya Restoran Ichi No Kura. Kanazawa terkenal dengan gold leaf (daun emas) yang diproduksi sejak abad ke-16. Kunjungi saja old town Higashi Chaya District untuk berbelanja aneka kerajinan tangan berhiaskan daun emas, kosmetik serba mengandung emas, atau makan es krim bersalut emas. Saya sudah coba, rasanya kayak makan tisu. Hehe! Tapi kalau mau beli oleh-oleh berupa makanan khas Kanazawa, seperti aneka mochi, bisa beli di Kanazawa Station. Rekomendasi Hotel: The Square Kanazawa – Suka banget dengan desain interior kamarnya yang berlantai kayu. Breakfast-nya adalah salah satu yang terbaik di hotel Jepang karena dibuat a la carte ditambah dengan aneka salad daun-daunan segar plus puding karamel yang luar biasa enak. Fukui Pemadangan alam terindah di Fukui adalah di Tojinbo yang memiliki tebing sepanjang 1 km di tepi pantai dengan tinggi 30 meter dari permukaan laut. Uniknya, sebagian batuan tebingnya berbentuk pentagonal dan heksagonal akibat digerus air laut pada belasan juta tahun yang lalu. Saat cuaca cerah, Tojinbo tampak cantik banget dengan latar belakang laut dan langit biru.
Namun Fukui terkenal dengan dinosaurusnya sampai-sampai sekota didekorasi serba dinosaurus! Mengapa demikian? Karena Fukui merupakan kuburan dinosaurus terbesar di Jepang! Iya, dinosaurus dulu tinggalnya di sini sampai ada 5 spesies khusus, antara lain Fukuisaurus dan Fukuiraptor. Semua fosil, tulang, dan sejarahnya bisa dilihat langsung di Fukui Prefectural Dinosaur Museum. Sungguh keren museum ini karena memajang aneka dinosaurus dengan ukuran aslinya, bahkan tampak hidup karena bisa bergerak-gerak! Uniknya lagi, makanan di Dino Cafe pun berbentuk dinosaurus, seperti roti burger dan kuenya. Aktivitas yang unik di Fukui adalah belajar menenun di Yume Ole Katsuyama Textile Factory Memorial Hall. Tempat ini dulunya bekas pabrik pembuatan kain sutera dari mulai kepompong ulat sampai jadi kain, namun telah berubah menjadi museum. Kita belajar menenun dari benang dengan menggunakan alat yang disediakan. Lumayan saya akhirnya berhasil membuat tatakan gelas. Hehe! Fukui pun memiliki Old Town untuk dijelajahi, yaitu di Monzen Machi. Disebut sebagai "Temple Town" karena sebenarnya adalah tempat berziarah yang berpusat di Kuil Eiheiji. Di sini khasnya bukan bangunan tua, namun jejeran pepohonan tua yang tinggi di sepanjang tepi sungai. Suasananya tenang, damai, dan pada saat salju turun menimbulkan kesan magis. |
Posted: 18 Jan 2020 10:21 PM PST Indonesia yang merupakan negara kepulauan membuat kita lebih mudah bepergian jarak jauh dengan menggunakan transportasi udara, termasuk ke luar negeri. Mau liburan, berkunjung ke rumah sanak saudara, atau business trip ke luar kota atau luar negeri, naik pesawat jadi alat transportasi yang paling efektif dibanding dengan alat transportasi lainnya. Apalagi jumlah hari cuti atau liburan orang Indonesia yang sangat terbatas, jadi waktu benar-benar harus diperhitungkan. Dengan waktu tempuh yang jauh lebih singkat, wajar jika harga tiket pesawat lebih mahal dibanding alat transportasi umum lainnya. Untuk menyiasati agar harganya tetap terjangkau, tinggal pandai-pandainya kita memesan tiket pesawat yang murah. Cari tiket pesawat murah di sini harus Anda lakukan jauh-jauh hari sebelum kehabisan tiket. Dengan duluan memiliki tiket maka sebagian besar urusan perjalanan sudah tertangani. Urusan itinerary, pemesanan hotel, dan kebutuhan Anda lainnya tinggal disesuaikan. Tiket Murah Saat Tidak Promo Kebanyakan orang senang berburu tiket pesawat murah ketika sedang ada promo. Orang akan berbondong-bondong booking tiket pesawat tersebut. Tapi, bagaimana jika Anda ingin menyegerakan agenda jalan-jalan namun promo tak segera turun? Ini dia kiatnya;
Maskapai Low Cost Carrier (LCC) umumnya memiliki harga yang lebih murah, namun tidak selamanya. Bandingkan saja segala maskapai, baik LCC maupun full board airlines dengan rute yang sama agar tidak menyesal kemudian. Yang jelas, jika Anda mengusahakan pemesanan tiket jauh-jauh hari sebelum hari keberangkatan – minimal 3 bulan sebelumnya, Anda memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan tiket lebih murah. 2. Menentukan Waktu Keberangkatan Hari dan tanggal yang akan Anda pilih sangat berpengaruh pada harga tiket pesawat. Terbanglah pada saat low season karena harga tiket bisa sangat tinggi ketika musim liburan atau ketika weekend. Peak season di dunia itu terjadi pada liburan akhir tahun atau liburan musim panas, sementara di Indonesia adalah pada saat liburan Idulfitri – saat itulah tiket pesawat memiliki harga tertinggi dan sangat jarang ada promo. Kiat lainnya, pesan tiket untuk keberangkatan pada hari Selasa dan Rabu karena biasanya lebih murah. 3. Saat tepat pemesanan Saat memesan tiket, sudah dapat tujuan dan waktu keberangkatan, tinggal cari harga yang sesuai dengan budget. Perlu diketahui, harga tiket pesawat ke tempat-tempat populer sangat mudah dan cepat mengalami perubahan. Jadi, ketika Anda sudah menemukan harga tiket yang cocok, langsung segera pesan. Ingat, semakin murah harga tiket, semakin sedikit ketersediannya. 4. Mem-follow medsos Travel Agent Kalau Anda membaca artikel ini, kemungkinan besar Anda memiliki smartphone dan punya media sosial. Manfaatkanlah sebaik mungkin kecanggihannya untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai tiket pesawat murah yang sedang ditawarkan. Caranya adalah dengan mem-follow akun media sosial sejumlah travel agent agar tidak kelewatan momen berharga berburu tiket pesawat murah. Hal Penting Sebelum Naik Pesawat Ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan sebelum menikmati penerbangan Anda.
Jangan malas dan lelah memeriksa dan memastikan barang-barang bawaan Anda. Apalagi dokumen-dokumen penting berkaitan dengan penerbangan Anda, seperti KTP untuk penerbangan domestik dan paspor untuk penerbangan internasional. Bila tujuannya ke luar negeri, pastikan bahwa masa berlaku paspor Anda enam bulan sebelum berakhir dan Anda sudah memiliki visa yang berlaku di negara tujuan, termasuk visa transit bila diperlukan. Selain itu, pastikan di tas atau koper kabin Anda tidak ada barang-barang berbahaya atau senjata tajam berupa pisau atau gunting, juga pastikan tidak membawa cairan lebih dari 100 ml per botol. 2. Perhatikan Jam Keberangkatan Anda Ingat baik-baik tanggal dan jam berapa pesawat Anda terbang. Misalnya, keberangkatan jam 00:30 hari Selasa, berarti Anda harus check in di bandara pada Senin malam. Sebaiknya lakukan online check in sehari sebelumnya agar dapat memilih kursi sesuai keinginan dan agar lebih cepat proses check in di bandara. Usahakan tiba di bandara minimal 1 jam sebelum keberangkatan domestik dan 2 jam untuk penerbangan internasional. 3. Berikan Tanda Pada Koper Anda Tidak menutup kemungkinan jika koper Anda memiliki kesamaan dengan koper penumpang lain. Makanya saya tidak pernah punya koper yang berwarna hitam karena terlalu banyak yang sama. Untuk menghindari kejadian tertukar, sebaiknya Anda memberi tanda pada koper dengan memberi bag tag atau pita berwarna. Tiket dengan harga murah sudah di tangan, waktu penerbangan sudah jelas, barang-barang dan dokumen sudah tersimpan rapi di tas, maka Anda sudah siap menjalani penerbangan Anda. Enjoy your flight! |
Posted: 27 Dec 2019 01:20 AM PST Kansai adalah wilayah di barat Pulau Honshu yang merupakan pusat budaya dan sejarah Jepang. Kebanyakan wisatawan pergi ke wilayah Kansai karena ingin mengunjungi Kyoto. Nah, saya mau cerita tempat-tempat lain yang tidak biasa tapi asyik banget untuk bersantai. Kobe Banyak sih yang udah pernah ke sini, tapi paling cuman makan Kobe beef yang terkenal itu. Padahal Kobe lebih dari sekedar makanan karena banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi. Jalan-jalan di pusat kota Kobe menyenangkan sekali karena kotanya dipepet pantai di satu sisi dan pegunungan di sisi lainnya. Mulai lah berjalan kaki di daerah Sannomiya yang merupakan pusat perbelanjaan dan kuliner. Dari situ, kunjungi Ikuta Shrine deh. Kuil cantik yang merupakan salah satu yang tertua di Jepang ini dipercaya oleh orang lokal dapat mendatangkan jodoh bila berdoa di sana. #eaaa
Tak jauh dari sana kita dapat mengunjungi Kobe Mosque. Masjid yang dibangun pada 1935 ini adalah masjid pertama di Jepang. Area sekitarnya memang ditinggali oleh penduduk Muslim maka tak heran banyak toko dan restoran yang menyajikan makanan halal. Kalau mau beli suvenir atau camilan, bisa ke Kitano Meister Garden. Meski namanya "garden" namun ia bukanlah taman, melainkan gedung bekas sekolah yang bergaya retro. Di lantai dua, saya mencoba belajar membuat sample makanan (terbuat dari lilin yang sering kita lihat di etalase) berupa macaron. Ternyata susah banget menghias kecil-kecil gitu secara mata saya bolor! Hehe! Yang seru, kunjungi Kobe Animal Kingdom. Sejatinya adalah kebun binatang, tapi yang membuatnya berbeda adalah banyak hewan yang tidak dikandangi jadi pengunjung bisa mengelus-elus langsung! Di sana lah saya pertama kali melihat dan mengelus capybara, sejenis tikus terbesar di dunia dengan berat sekitar 50 kg! Hewan unik lainnya ada alpaca, kangguru dan red panda (si Master Shifu di film Kung Fu Panda). Jangan lupa makan siang di restoran Flower Forest yang menyajikan makanan all-you-can-eat lezat. Kalau ada di Kobe pada awal Desember, datanglah ke Kobe East Park untuk melihat Kobe Luminarie. Festival ini diadakan setiap tahun untuk memperingati korban gempa bumi Henshin pada 1995. Instalasi lampu sebesar bangunan yang dibuat pengrajin dari Italia ini sungguh cantik! Tempat unik lainnya untuk dikunjungi pada malam hari adalah Nankinmachi atau Chinatown-nya Kobe yang dibangun pada 1868. Sepanjang jalan terdapat pusat perbelanjaan dan kuliner murah. Rekomendasi Tokushima Tokushima terletak di Pulau Shikoku, namun aksesnya mudah dicapai naik kereta atau bus dari Kobe atau Osaka yang terhubung dengan jembatan. Lansekap Tokushima ini spektakuler banget karena merupakan pegunungan dengan sungai berair kehijauan. Ia memang pusat agrikultur Jepang. Cocok bagi pecinta alam macam saya! Di Oboke Gorge, ikutan trip Oboke Pleasure Cruise deh. Dengan naik kapal bermotor berisi sekitar 20 penumpang, kita diajak menyusuri Sungai Yoshino yang biru kehijauan dikelilingi bebatuan besar berwarna putih dan hutan di tebing yang warna daunnya kuning-oranye-ungu saat musim gugur. Tak jauh dari sana terdapat Kazurabashi Bridge, yaitu jembatan gantung kuno yang terbuat dari ranting pohon anggur. Berjalan di jembatan sepanjang 45 meter dan setinggi 14 meter ini bikin nyali ciut karena goyang-goyang dan jarak antar pijakan kaki yang jarang-jarang! Tapi pemandangan sekitarnya luar biasa cantik. Area sekitar jembatan ini juga asyik untuk dijelajahi dengan berjalan kaki. Bisa bersantai sambil duduk-duduk di bebatuan tepi sungai atau merenung di air terjun Biwa sambil makan ikan Ayu panggang yang ditangkap dari sungai dan dibumbui garam saja. Rekomendasi Tottori Tidak menyangka di Jepang ada Sand Dunes! Gurun pasir terluas di Jepang ini terletak di sepanjang 16 km pantai di Tottori dan setinggi sampai 50 meter yang terbentuk selama 30.000 tahun. Pasirnya halus banget berwarna kekuningan, padangnya luas, pantainya pun cantik, jadi sungguh spektakuler!
Di seberangnya terdapat Sand Museum atau museum seni pasir yang berisi berbagai patung dan pahatan terbuat dari pasir! Setiap tahun berbeda-beda temanya, tahun ini bertema South Asia. Patung Mahatma Gandhi dan Buddha, sampai Patan Durbar Square dan Varanasi dibuat besar dan detil banget dengan aktivitas orang-orang di latar belakangnya. Yang unik lagi Nijisseiki Pear Museum di Kurayoshi. Museum ini berisi segala macam hal tentang buah pir di dunia, terutama pir jenis Nijisseiki yang banyak dihasilkan daerah ini. Kita bisa melihat sejarah pir, cara budidaya pir, sampai pear tasting (mencoba aneka pir) dan makan es krim pir. Rekomendasi Osaka Kota terbesar di Kansai adalah Osaka, jadi pasti mampir ke sini. Di luar Namba dan Dotonbori buat belanja dan makan-makan, masih banyak tempat menarik untuk dikunjungi. Sebagai penggemar memandang kota dari ketinggian, saya suka ke Abeno Harukas. Gedung pencakar langit setinggi 300 meter ini memiliki observation deck pada lantai 60 yang dapat memandang Osaka 360°. Saat winter, ada iluminasi cahaya yang ditembakkan pada dindingnya. Tau nggak kalau di dekat Osaka, tepatnya di Sakai terdapat situs yang termasuk ke dalam UNESCO World Heritage List? Di Sakai terdapat kofun atau makam kuno raja-raja Jepang abad 3-7 Masehi. Uniknya makam ini dari atas bentuknya seperti lubang kunci, namun sangat luas dan dikelilingi danau – lebarnya aja sampai 486 meter! Ada banyak kofun di sekitar Sakai, bakal gempor juga kalau mengelilingi semuanya. Paling mudah mempelajarinya adalah ke kluster Mozu dan Furuichi Tumuli, masuk ke Museum Kota Sakai, lalu nonton Virtual Reality-nya. Sorenya minum teh matcha di Machiya Café Sacay, sambil belajar cara bikin kue Jepang yang disebut wagashi (semacam mochi yang dibentuk lucu-lucu). Sebelum kembali ke Indonesia, jangan lupa belanja di MEGA Don Quijote. Toko serba ada dan murah ini ada beberapa di Osaka, namun yang di Shinsekai adalah yang terbesar sehingga puas milihnya. Rekomendasi |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar