Selamat Datang
Rekan Netter ...
Prospek Bisnis online di bidang penjualan tiket pesawat masih sangat besar peluangnya, selama perusahaan penerbangan masih ada dan dunia pariwisata terus berkembang, bisnis tiket pesawat masih layak untuk dipertimbangkan, hal yang perlu diperhatikan adalah menjamurnya pusat penjualan tiket dimana – mana, sehingga daya saing semakin tinggi, perlu suatu terobosan yang inovatif agar tetap bersaing sehat. Ini lah yang menjadi pertimbangan birotiket.com sehingga membuka peluang bisnis online menjadi biro tiket pesawat secara online dengan modal sedikit tetapi hasil yang sangat luar biasa..
Tahukah anda bahwa Internet juga bisa digunakan untuk menjalankan bisnis jutaan rupiah dengan modal terjangkau? Ya, kini anda dapat memanfaatkan Internet agar dapat menghasilkan jutaan rupiah per bulannya.
BERIKUT INI BUKTI KESERIUSAN KAMI
MENGAJAK ANDA MEMULAI USAHA BISNIS TIKET PESAWAT SECARA ONLINE
Menjadi Biro Tiket Pesawat tidaklah sesulit yang anda bayangkan bisa dilakukan kapan saja dimana saja oleh anda yang berprofesi sebagai karyawan, Pengusaha, ibu rumahtangga, mahasiswa, atau siapa saja! DIJAMIN, Anda tidak ingin melewatkan Peluang berharga ini...
Resiko ? Setiap Bisnis mempunyai resiko, Hal terpenting adalah bagaimana strategi anda mengolah resiko menjadi profit, salah satu cara mencari peluang bisnis dengan nilai investasi yang kecil.
Berapa modal yang anda keluarkan? Untuk menjadi agen penjualan tiket pesawat online sangatlah murah yaitu hanya sebesar Rp. 150000,- saja. Itu tidak seberapa mahal jika dibanding anda menjadi agen penjualan tiket secara offline.
KEUNTUNGAN APA SAJA YANG AKAN ANDA DAPATKAN ?
1. Proses reservasi / booking bisa dilakukan darimana saja dan kapan saja di seluruh wilayah Indonesia.
2. Data yang transparan langsung dari airline.
3. Proses reservasi langsung dilakukan dari sistem airline.
4. Anda bisa mencetak sendiri tiket anda dan penumpang anda bisa langsung terbang.
5. Pembayaran melalui transfer bank sehingga bisa lebih cepat dan akurat.
6. Anda bisa menjual kembali tiket tersebut kepada orang lain dengan harga pasar.
Selain beberapa keuntungan di atas, masih banyak lagi keuntungan yang akan anda dapatkan jika bergabung bersama www.birotiket.com, selengkapnya silahkan klik disini
BISNIS YANG BIASA TETAPI MEMILIKI
POTENSI PENGHASILAN YANG LUAR BIASA
Rabu, 28 Juli 2021
Advanced SEO plans
within just 1 month
See more details here
https://liftmyrank.co/affordable-seo-services-small-businesses/
Selasa, 20 Juli 2021
Do you want a one time SEO boost for your website?
https://liftmyrank.co/affordable-seo-services-small-businesses/
Whitehat Monthly SEO plans for your business
I have just checked your site for the ranking keywords and found that you
could use a nice boost in the SEO trend and the organic visibility
If interested in getting more out of your online business, kindly hit reply
thanks and regards
Mike
Jumat, 09 Juli 2021
The Naked Traveler
The Naked Traveler |
Posted: 08 Jul 2021 09:00 PM PDT Siapa yang awalnya suka membaca buku akhirnya jadi suka menulis? Mungkin awalnya menulis diary, medsos, blog, lalu lama-lama artikelnya dimuat di media massa. Dari sekian banyak tulisan yang dibuat, pernahkah Anda berpikiran untuk menerbitkannya jadi buku? Pertanyaan selanjutnya: mengapa sih kita perlu menerbitkan buku karya sendiri? Alasan sebagian orang adalah legacy, ingin meninggalkan warisan kepada masyarakat luas berupa pemikiran kita yang dituangkan ke dalam tulisan. Rasanya bangga aja kalau punya buku yang ada nama kita tertulis di sampulnya dan dipajang di toko buku di mal – apalagi kalau bukunya laris! Ada juga yang beralasan ingin mendapatkan keuntungan finansial, lumayan untuk menambah penghasilan di masa pandemi begini. Atau ingin terkenal seperti penulis idola, yang bisa dikirim ke luar kota atau negara lain untuk mempromosikan bukunya. Apapun itu alasannya, tidak ada yang salah kok! Tapi bagaimana caranya? Buku bagaimana yang layak diterbitkan? Apakah perlu biaya? Bagaimana distribusinya? Untunglah kita hidup pada zaman sekarang di mana ada banyak cara untuk menerbitkan buku. Setelah kelas saya yang bertajuk "Cara Mudah Menulis" dan "Cara Mudah Menulis Perjalanan", mari kita lanjut ke tahap selanjutnya, yaitu bagaimana caranya menerbitkan buku. Kelas ini dimaksudkan untuk menerbitkan buku dengan genre apapun, bukan hanya buku perjalanan seperti yang biasa saya terbitkan. Pengalaman saya sebagai penulis di industri buku selama 14 tahun akan saya bagikan di kelas ini. Segala pertanyaan di atas dan seluk beluknya akan dibeberkan di Kelas "Cara Mudah Menerbitkan Buku" pada Jumat, 30 Juli 2021, pukul 19.30-21.00 WIB, via Zoom. Supaya tambah semangat, ada bintang tamu nih! Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, akan bergabung di kelas ini! Bentang Pustaka sendiri adalah penerbit buku saya sejak seri "The Naked Traveler" pertama diterbitkan pada 2007. Mereka juga lah yang telah menerbitkan buku-buku laris nasional dari penulis-penulis terkenal, seperti Dee Lestari dan Andrea Hirata. Pengalaman Mas Salman tentu tidak bisa diragukan lagi. Anda bisa tanya langsung ke beliau, lho! Segera daftarkan diri Anda di bit.ly/kelastrinity3 karena tempat terbatas! Tunggu reply email dari saya mengenai cara pembayaran dan link Zoom-nya. FYI, semua komunikasi dilakukan hanya via email, jadi harap cek email Anda secara berkala ya? Mari wujudkan mimpi Anda menerbitkan buku! TTD, |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Extruct Exhibition PTY LTD - POPI Update
EXTRUCT EXHIBITION PTY LTD – POPI COMPLIENT
should you no longer wish to receive communication from us. However, if you stay the sky is the limit and you can expect to receive:
- News from our team regarding our latest projects
- Information about our products and services
- Special offers and discounts
- Reduced rates on our services
If you are happy to be kept on our mailing list, no action is required at all.
Just sit back and wait for our imminent new updated info and promos.
If you wish to unsubscribe, you may do so below on the link provided
Please note that you are free to opt out of our mailing list at any time.
As always, thank you for your support
remeber to follow us on social platforms
Rabu, 07 Juli 2021
The Naked Traveler
The Naked Traveler |
Posted: 07 Jul 2021 03:00 AM PDT Oleh Gemala* (Pemenang #LombaKelasTrinity) Saya yakin setiap orang pasti pernah ngerasain yang namanya nebeng mobil atau motor, baik itu dengan teman, keluarga, pacar, kenalan, atau orang yang nggak dikenal sebelumnya. Di zaman internet dan media sosial seperti saat ini, nebeng dengan orang yang nggak dikenal merupakan fenomena yang biasa karena sudah ada wadahnya melalui website ataupun aplikasi. Sarana ini cukup aman karena baik penebeng maupun yang memberi tebengen wajib mendaftarkan diri. Pertama kali saya mengetahui ada pilihan sarana transportasi nebeng atau carpooling itu saat saya kuliah di Jerman lebih dari satu dekade yang lalu. Karena hobi jalan-jalan, setiap ada waktu liburan saya selalu mencari daerah yang bisa saya kunjungi atau sekedar main ke tempat teman yang berada di luar kota. Sebagai pelajar dengan budget terbatas maka saya selalu berusaha mencari sarana transportasi yang termurah – dan cara nebeng termasuk yang termurah! Jika dibandingkan dengan kereta atau pesawat sudah tentu carpooling yang termurah. Jika dibandingkan dengan bus kadang bisa lebih mahal sedikit atau lebih murah. Namun kalau kita bisa menemukan tebengan yang benar-benar searah dan sehati alias ingin cepat sampai juga maka waktu perjalanan yang ditempuh bisa lebih cepat dari bus bahkan dari kereta sekalipun. Memang tidak semua orang nyaman menggunakan sarana transportasi ini apalagi kalau kamu orang asing. Saya pernah merekomendasikan teman saya yang sama-sama orang asing untuk menggunakan sarana transportasi ini dan langsung ditolak mentah-mentah dengan alasan dia merasa nggak nyaman kalau semobil dengan orang yang nggak dia kenal. Padahal naik bus isinya kan lebih banyak orang yang dia nggak kenal! Menurut saya suasana nebeng nggak ada bedanya dengan naik bus, bahkan cenderung lebih nyaman, apalagi kalau kita bisa dapat mobil yang keren. Pengalaman saya dapat tebengan mobil mahal saat saya nebeng dari Munich ke Berlin. Saat itu lagi momen Oktoberfest jadi banyak banget pilihan tebengan karena orang Jerman dari berbagai daerah banyak datang ke Munich untuk mabuk-mabukan. Saya ke sana bukan untuk ikutan mabuk-mabukan melainkan untuk bertemu dengan teman lama saya yang sedang berkunjung ke Jerman. Pulangnya saya dapat tebengen anak orang kaya di Berlin. Bayangkan, dia baru masuk kuliah S1 tapi sudah mengendarai BMW open rooftop! Kalau dia bukan anak orang kaya nggak mungkin dia punya tunggangan sekeren itu. Saat saya dijemput sudah ada 3 cowok di mobil tersebut termasuk si pemilik mobil. Saya diberikan tempat duduk di depan oleh mereka. Biasanya pertanyaan standar kalau lagi nebeng untuk orang asing itu adalah, "Where are you from?". Saat saya menjawab Indonesia, reaksi mereka sungguh di luar dugaan karena mereka bilang nggak pernah mendengar Indonesia sebelumnya. Namun saat saya bilang Bali, mereka tahu Bali. Doh! Lebih parahnya lagi, si pemilik kendaraan ini bilang dengan polosnya kalau dia pikir saya orang Cina, karena menurut dia orang Asia itu ya orang Cina. OMG! Untuk standar anak kuliahan pernyataan dia asli bikin saya shock! Jadi jangan pernah berpikir kalau bule itu lebih pintar dari kita, ya! Ada juga kok yang bego. Hehe! Bonus lainnya dari jalan-jalan dengan nebeng adalah kalau kebetulan dapat supir alias pemilik kendaraan yang ganteng. Saya nggak akan pernah melupakan perjalanan saya dari Austria ke Jerman karena pemilik mobilnya yang ganteng dan ramah. Kebetulan saya duduk di bangku depan saat itu jadi saya yang lebih banyak ngobrol dengan dia dari pada penebeng lain yang duduk dibelakang. Topik pembicaraan kami banyak seputar dunia pendidikan karena dia bekerja sebagai guru sekolah dasar di Jerman. Selain itu mata saya juga dimanjakan dengan pemandangan alam yang indah di sepanjang jalan karena kami dapat melihat pegunungan Alpen yang bewarna sedikit kemerahan karena diterangi cahaya senja saat itu dan ditambah dengan pak guru ganteng di sebelah saya yang menemani. Sungguh pengalaman yang susah untuk dilupakan! Sayangnya setelah itu saya tidak pernah mendapatkan tebengen seganteng pak guru itu lagi. Tidak semua pengalaman nebeng saya menyenangkan. Saat itu saya pergi bersama dengan teman saya. Dari awal saya sudah merasa nggak enak hati karena mobil yang mau kami tebengin berbentuk van sehingga penumpangnya cukup banyak. Namun karena tidak apa pilihan lain, saya dan teman saya akhirnya mem-booking juga. Rute mobil juga tidak langsung menuju ke Wina karena pemilik mobil banyak melipir keluar jalan utama untuk menjemput penumpang lain. Oleh karena itu waktu perjalanan kami menjadi sangat panjang melebihi waktu yang seharusnya. Mobil kami juga sempat diberhentikan oleh polisi untuk diperiksa. Mungkin karena berbentuk van jadi terlihat mencurigakan – disangka van yang mengangkut korban human trafficking! Hehe! Bedanya korbannya di sini tidak dalam keadaan ketakutan karena ada yang tertidur, mendengarkan musik, membaca buku, dan ada juga yang ngomel-ngomel sepanjang jalan karena kelaparan dan itu adalah teman saya. Karena tidak menyangka perjalanannya akan selama itu, kami tidak banyak membawa makanan. Saat sampai di Wina sudah malam dan teman saya pun demam! Pengalaman buruk seperti itu tidak membuat saya kapok untuk menebeng, bahkan saya ketagihan. Paling nggak ketika ke Eropa, saya selalu mencari alternatif perjalanan jika ada cara nebeng. Terakhir kali saya liburan ke Jerman sebelum pandemi, saya menggunakan carpooling lagi. Kali ini dari Hamburg ke Copenhagen. Saat itu pemilik kendaraannya seorang pria paruh baya yang ramah. Dia cerita kalau dia habis mengunjungi anaknya di Berlin sedangkan dia sendiri tinggal di Copenhagen. Saya sempat terlambat 30 menit namun saya sudah memberitahukan sebelumnya karena ada ganguan di jalur subway saya. Dengan baik hati si bapak bilang dia akan menunggu saya 30 menit. Begitu saya sampai di tempat janjian, dengan ramah dia memperkenalkan diri dan memasukkan koper saya ke bagasi. Saat itu sudah ada 3 cewek penebeng lain di sana, dan bangku yang tersisa ada di belakang. Kali ini saya mendapat jatah untuk memandang alam dari kursi belakang sambil mendengarkan si cewek di depan menemani si bapak mengobrol, sampai akhirnya saya tertidur. *Gemala adalah peminum kopi yang suka jalan-jalan dengan mobil (road trip). #LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 1 Mei 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler. |
Ke Shanghai Demi Roger Federer Posted: 06 Jul 2021 03:00 AM PDT Oleh Henri Batubara* (Pemenang #LombaKelasTrinity) Perjalanan saya ke Shanghai pada Oktober 2019 silam adalah traveling sekaligus menonton tenis. Ya, tenis adalah olah raga yang rutin saya geluti. Dan menyaksikan pertandingan tenis kelas dunia sudah sejak dulu saya cita-citakan. Syukurlah benua Asia masih dapat jatah menyelenggarakan satu turnamen, tepatnya di Shanghai. Saya pun sejak tahun 2018 saya sudah menetapkan salah satu tujuan liburan saya tahun 2019 adalah kota nomor dua terbesar di China itu. Pada akhir tahun 2018 laman asosiasi tenis putra (ATP) sudah mencantum kalender turnamen selama tahun 2019. Maka sebagai seorang traveler yang 'bertumbuh' berkat buku-buku The Naked Traveler, saya pun langsung berburu tiket sebuah maskapai yang mengadakan Travel Fair awal Februari 2019 di Gandaria City. Yay, dapat dong tiket yang terbilang sangat murah untuk maskapai sekelas Singapore Airlines karena cuma Rp 4,5 juta pp! Ketahuan ya saya kalau bepergian selalu 'modis' alias modal diskon! Setelah hotel di Shanghai berhasil dipesan, saya belum lega 100 persen karena lewat laman turnamen untuk pembelian tiket, usaha saya tidak membuahkan hasil. Denah kursi dan diferensiasi harga yang jelas tercantum sudah saya pilih, namun saat membayar dengan kartu kredit selalu tidak berhasil. Sesuai ketibaan, saya menetapkan untuk menonton babak perempat final dulu. Semifinal dan final nanti saja karena tiketnya lebih mahal. Pertandingan yang saya pilih tentunya idola saya, Roger Federer. Karena dialah saya ke Shanghai. Tentu saya sudah 'berdoa semalam suntuk' agar dia tidak tersingkir di babak-babak awal. Perjalanan dari Jakarta ke Pudong transit di Changi berjalan lancar. Saya sudah sampai di hotel hari Jumat jam delapan. Kepagian dong untuk check in! Saya yang belum kenyang saat sarapan di pesawat langsung mencari makanan di sekitar hotel. Ternyata pramusajinya pada nggak ngerti bahasa Inggris! Akhirnya kami pun bicara pakai bahasa isyarat dengan menunjuk-nunjuk gambar. Pilihan berdasarkan cocok di mata dulu. Urusan di lidah belakangan. Dengan taksi yang dipesan resepsionis hotel, saya pun berangkat ke TKP. Butuh waktu 30 menit ke stadion bernama The Qizhong Arena itu. Memasuki menit ke 20, saya menyadari tujuan semakin dekat. Spanduk, baliho para pemain dan poster turnamen sudah berkibar menyambut. Barisan mobil-mobil pun mulai melambat. Calo-calo dengan sigap mengejar dan menggedor kaca, namun saya tidak tergoda. Kaca mobil tidak saya turunkan. Pasti harganya melambung tinggi. Beberapa meneriakkan Federer berkali-kali sambil mengibarkan lembaran tiket di tangannya. Saya tetap bergeming. Begitu turun dari taksi, kembali saya diserbu para calo. Meski mereka mengatakan semua tiket sudah sold out, saya tetap melangkah menuju loket. Apa mau dikata, tiket pertandingan Federer melawan Zverev benar sudah habis. Namun untuk pertandingan sekarang masih ada antara Novak Djokovic versus Tsitsipas. Ah, ini seru juga, bisikku dalam hati mengingat Djokovic adalah pemain nomor satu. Ambil! Lega, karena tiket saya peroleh sesuai harga resmi. Sebelum masuk stadion yang termasuk lima besar di dunia dalam hal kapasitas daya tampung itu, tentu tak lupa foto-foto dulu, baik secara swafoto maupun minta tolong ke pengunjung lain. Tentu berpose bersama sang idola tak dilewatkan. Barbuk lho! Setelah puas berfoto-ria, saya mampir ke beberapa booth sponsor turnamen. Topi dan apparel tenis pindah ke dalam tas. Begitu memasuki stadion dan menempati kursi yang termaktub di tiket, saya mengitari seluruh stadion yang lapangannya berada jauh di bawah sana (ketahuan deh harga tiket saya!). Stadion berbentuk oval ini beratapkan langit. Sesekali pesawat-pesawat melintas dengan berisiknya. Semoga tidak hujan, batin saya. Begitu kedua pemain memasuki arena, hati saya bergemuruh. Akhirnya saya melihat langsung para pemain kelas dunia, meski kecil namun terbantu oleh monitor-monitor raksasa di beberapa penjuru sehingga wajah mereka jelas terlihat. Pertandingan berlangsung ketat sampai tiga set yang dimenangi petenis Yunani itu. Apes, unggulan pertama keok! Memang kalau sudah jodoh, ke mana pun akan dapat juga. Saat istirahat set ke tiga, seorang pria lokal menyandang tas ransel tenis berisi dua raket masuk dan duduk hanya dua kursi di sebelahku. Aku tegur, dan dia merespon dengan ramah. Termasuk niat saya hendak menonton Roger Federer pun dia tanggapi dengan sempurna. Dia buka aplikasi dari gawainya, "The ticket is still available!" Singkat cerita, saya berhasil mendapatkan tiket itu dengan harga normal berkat pertolongannya. Rejeki anak soleh! Roger main menjelang malam hari. Langit sudah meremang. Begitu masuk kembali ke dalam, saya menengadah. Ternyata stadion ini punya atap yang bisa disetel sesuai keperluan dan cuaca. Saya berdecak kagum. Meski hujan badai turun, pertandingan tak akan terinterupsi ternyata. Sayangnya jagoanku kalah menyesakkan tiga set! Dia mengikuti jejak rivalnya yang telah duluan bertekuk lutut melawan petenis Yunani tadi. Sedih? Pasti. Idola kalah gitu, lho! Saya langsung mencoret rencana menonton semifinal dan final. Hari Sabtu saya mengitari kawasan The Bund yang menjadi ikon kota Shanghai. Saya juga berbelanja ke toko Uniqlo yang menjual baju dan celana yang dikenakan Roger Federer waktu main kemarin. Anehnya tidak semua gerai menjualnya. Hanya di gerai terbesar yang menjual. Makanya alangkah bahagianya ketika saya berhasil membelinya. Namun imbasnya, keinginan untuk memakai kaos Federer saat menggebu-gebu. Kalau saya pakai kembali ke stadion seperti thematic gitu, kan? Akhirnya saya putuskan untuk menonton partai puncak alias final keesokan harinya. Saya pede saja pergi, dengan keyakinan tiket pasti akan bisa saya peroleh. Karena bukan orang baru lagi, saya langsung menuju loket. Namun petugas security menghadang seraya menggeleng. Yaah, tiket sudah ludes terjual! Yang masuk final adalah si penakluk Federer dengan petenis muda Rusia yang sedang naik daun: Daniil Medvedev. Karena belum memiliki tiket, otomatis saya tidak boleh memasuki arena. Dalam keputusasaan, mata saya terpaku pada wanita bule semampai yang sangat cantik dengan dandanan formal berwarna pastel; seperti menunggu seseorang. Sayang dilewatkan begitu saja, iseng saya nekat mendekat, “Excuse me, I'd like to buy a ticket. Do you sell it?" Dia sontak kaget menatap saya dan menggeleng tentu saja. Mungkin dalam hati memaki saya: Emang gue punya tampang calo apa? Kelar 'bermain' dengan cewek cakep, beberapa menit berlalu begitu saja. Final tinggal 15 menit lagi akan dimulai. Saya mulai gelisah. Apakah saya akhirnya pulang dengan tangan hampa? Sia-sia dong 'pamer' kaos Federer! Tiba-tiba ada tiga remaja oriental menawarkan satu tiket kepada pria bule berpakaian mentereng. Si bule menggeleng. Saya tak ingin membuang kesempatan. Begitu mereka lewat di depan, langsung saya tegur. Ternyata seorang teman mereka tiba-tiba batal menonton. Olala, pucuk dicinta ulam tiba! Saya berhasil mendapatkan satu tiket final dengan harga diskon – bahkan lebih murah dari harga resmi! Baik benar mereka! Mereka pun mengajak saya untuk masuk bareng. Ternyata kursi saya terpisah dari mereka bertiga. Saya duduk tiga baris di depan mereka. Duduk di sebelah saya adalah seorang pria bule, yang ternyata dari Rusia. Vladimir namanya, seorang tennis freak juga. Buktinya dia datang dari Moskow demi Medvedev. Kami ngobrol dengan akrab dan saling memberi nomor ponsel. Oh, indah sekali akhir perjalanan ke Shanghai ini. Apalagi Medvedev juara pula! Kami berdua tanpa jaim lagi melonjak-lonjak gembira. *Henri Batubara berprofesi sebagai dokter aparat sipil negara. Hobinya membaca, menulis, dan koleksi buku (di antaranya seri The Naked Traveler). Karyanya berupa cerpen dan cerber pernah dimuat di majalah Femina, Kartini, Gadis, dan Tabloid Nyata. Juga satu buku kumpulan cerita yang terbit indie berjudul Song for Susan (April 2020). Saat ini sebuah novelnya sedang tayang di platform Storial.co berjudul Setelah Matahari Padam. Ia dapat dihubungi di email: batubara184@gmail.com #LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 1 Mei 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler. |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Senin, 05 Juli 2021
The Naked Traveler
The Naked Traveler |
PULAU BURU DAN HAL-HAL YANG INGIN KULUPAKAN Posted: 05 Jul 2021 01:19 AM PDT Oleh Fatma Puri Sayekti* (Pemenang #LombaKelasTrinity) Pulau Buru adalah sebuah ambisi. Aku beberapa kali pernah ke Maluku, tapi belum ke Buru. Aku hanya mendengar pulau kecil di barat Ambon ini dari cerita sepintas lalu bahwa sastrawan kawakan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah dibuang ke sana. Lalu orang ramai membicarakannya. Awal mula perjalanan ke Pulau Buru ini cukup menggelikan, lalu kemudian menyesakkan. Sekitar Mei 2018, aku bertemu seorang laki-laki di Aceh. Sebut saja namanya Bastian. Kami ada acara bersama selama seminggu. Dia asli Maluku, jadi sangat pas bila aku bertanya bagaimana cara ke Buru. Setelah ngobrol, aku baru tahu ternyata dia berasal dari Sofifi, ibukota Maluku Utara, tapi sedang berkuliah di Jogja. Sebuah pulau yang bahkan sangat jauh di utara Buru, pun beda provinsi. Tapi tak apa, pikirku. Setelah pulang dari Aceh, aku dan Bastian intens berkabar di chat. Tujuanku antara lain mengetahui dengan persis bagaimana cara menyeberang dari Ambon ke Buru, berapa biaya yang dibutuhkan, minta dikenalkan ke teman yang tinggal di sana, dan sebuah jaminan bahwa aku akan bisa pulang dengan badan utuh. Akhirnya hari itupun tiba. Aku sudah menyelesaikan pekerjaan di Ambon dan mulai merealisasikan rencana ke Pulau Buru. Bastian "mengawasiku" dari Jogja. Mengirim banyak pesan singkat selagi aku membunuh waktu menunggu jadwal keberangkatan feri di pelabuhan Ambon pukul 8 malam. Selama 6 jam perjalanan laut dengan bantal apek dan ketakutan dimaling, setengahnya kuhabiskan dengan chat dengan Bastian juga. Ngobrol tentang proyek menulis kami, buku-buku yang dibaca, apa yang dilakukan, sampai kekhawatiran karena aku selalu gagal mengontak teman yang akan menjemputku besok pagi. Ah, untunglah, teman itu memang nyata wujudnya dan membawaku naik motor dari Namlea ke Lamahang, kampungnya. Teman baruku ini bernama La Ode. Aku merekam dengan baik setiap senti perjalanan naik motor selama sejam bersama La Ode. Aku mengabarkan pada Bastian bahwa benar Pulau Buru berbau minyak kayu putih segar, pohon-pohon kayu putih yang normal terbakar di musim panas, dan garis pantai yang amat panjang. Aku seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Sangat bersemangat. "Aku mau ke desanya Pram! Savanajaya! " tekatku kepada Bastian, setelah aku sampai di Lamahang. Dia dengan sabar menyarankan aku untuk menggali hal lain selain kejadian 1965 atau para tapol dilan (tahanan politik tanpa pengadilan). Ia memberi ide agar aku mencari cerita tentang makanan kesukaan Pramoedya Ananta Toer, hobi, dan cerita ringan lain. Spontan aku tertawa. Esoknya, La Ode memboncengku dengan motor melaju ke Savanajaya, yang ternyata jaraknya jauh. Dua jam naik motor cukup bikin bokong dan punggung pegel. Aku bercerita lagi kepada Bastian, bahwa aku tak mungkin melewatkan pergi ke hutan untuk mencari pembuat minyak kayu putih asli dari penyulingannya. Aku bahkan cukup haru bisa melihat wujud daun dari pohon putih, bahan utama pembuatan minyak. Hidungku seperti dimanjakan bau wangi yang agak jauh beda dengan minyak buatan pabrik yang biasa kubeli di supermarket. Aku tersenyum mendapati para pekerja bertelanjang dada yang menunggui tungku panas. Aku melanjutkan perjalanan dengan membawa sebotol tanggung minyak kayu putih yang telah dingin. Mahal juga, 175 ribu rupiah! Sesampai di desa Pram, kami mendatangi rumah seorang pegiat literasi di sana, sebut saja Bu Minarsih. Beliau masih sangat menggebu-gebu bercerita bagaimana tahun 1980-an harus datang ke Buru karena orangtuanya diasingkan di sini. Stigma negatif masyarakat luas masih ada saja, yang menganggap mereka adalah bekas anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Walau ia juga mengakui bahwa pemerintah sudah banyak memberikan akses pada berbagai fasilitas untuk warga Savanajaya, kompleks perumahan eks pembuangan tapol dilan itu. Aku menceritakan semuanya pada Bastian, yang setia menunggu ceritaku dari Jogja. Bu Minarsih juga menunjukkan pada kami perpustakaan kecil belakang rumahnya, yang dindingnya dipasang banner foto para perempuan yang zaman dahulu dianggap PKI kemudian diasingkan di sana. Hatiku senang dapat memori baru soal Buru, tapi juga trenyuh dan sakit bagaimana sejarah di bumi manusia bisa begitu bias dan tidak adil bagi sebagian rakyat Indonesia. Perjalanan ini aku akhiri dengan naik feri kembali ke Ambon 7 jam, direct flight 2,5 jam Ambon – Surabaya, lanjut mobil travel 4 jam menuju Kediri. Sepulang dari Pulau Buru dan kembali ke kota asalku, aku makin intens berhubungan dengan Bastian. Bahkan ketika aku ada agenda ke Jogja, aku menyempatkan diri menemuinya. Di trotoar seberang Alun-alun Kidul Jogja, dengan dua gelas kopi dan kacang. Ia baru jujur bahwa sebenarnya ia pun tak kenal sama sekali awalnya dengan La Ode yang tinggal di Buru itu. Ia hanya teman dari temannya. Jadi dia melepasku ke Buru dalam kondisi berjudi, antara selamat atau tidak. Aku tertawa sejadi-jadinya. Tapi aku tahu. Agar aku mendapat akses ke Buru dengan mudah, ia sedikit omong kosong ke La Ode bahwa aku adalah pegiat literasi yang sedang meneliti dan ingin menulis soal Pram. Sejak saat itu, aku dan Bastian semakin dekat. Bagiku, tak mudah menemukan pria yang bisa nyambung diajak ngobrol, sekaligus menghormati dan mendukung aktifitas perempuan. Namun, tepat sebulan setelah pertemuan terakhir kami, Bastian menghilang tanpa kabar. Sampai sekarang. Seandainya boleh memilih, aku ingin melupakan semua yang sudah dia lakukan. Aku ingin lupa bahwa dialah yang sudah "membawaku" jauh ke Buru. Lupa bahwa dia yang membuatku mengalami hal-hal seru. Lupa bahwa ia yang "menemaniku" sepanjang perjalanan dengan pesan-pesan singkat menanyakan kabar dan sebagainya. Lupa bahwa ia adalah salah satu orang paling bahagia ketika aku berhasil kembali ke Kediri dengan selamat. Dan lupa bahwa keinginan melupakan justru membuatku semakin ingat dia, bahkan setelah tiga tahun sesudahnya. — *Fatma Puri Sayekti, asli Kediri, Jawa Timur. Sekarang menjadi psikolog dan dosen Psikologi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri. Hobi membaca novel dan nonfiksi traveling, jalan-jalan, serta nonton drama Korea. Pernah singgah hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Bercita-cita keliling dunia gratis. #LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 1 Mei 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler. |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Minggu, 04 Juli 2021
Negative SEO Services
https://liftmyrank.co/negative-seo-services/