The Naked Traveler |
Posted: 07 Jul 2021 03:00 AM PDT Oleh Gemala* (Pemenang #LombaKelasTrinity) Saya yakin setiap orang pasti pernah ngerasain yang namanya nebeng mobil atau motor, baik itu dengan teman, keluarga, pacar, kenalan, atau orang yang nggak dikenal sebelumnya. Di zaman internet dan media sosial seperti saat ini, nebeng dengan orang yang nggak dikenal merupakan fenomena yang biasa karena sudah ada wadahnya melalui website ataupun aplikasi. Sarana ini cukup aman karena baik penebeng maupun yang memberi tebengen wajib mendaftarkan diri. Pertama kali saya mengetahui ada pilihan sarana transportasi nebeng atau carpooling itu saat saya kuliah di Jerman lebih dari satu dekade yang lalu. Karena hobi jalan-jalan, setiap ada waktu liburan saya selalu mencari daerah yang bisa saya kunjungi atau sekedar main ke tempat teman yang berada di luar kota. Sebagai pelajar dengan budget terbatas maka saya selalu berusaha mencari sarana transportasi yang termurah – dan cara nebeng termasuk yang termurah! Jika dibandingkan dengan kereta atau pesawat sudah tentu carpooling yang termurah. Jika dibandingkan dengan bus kadang bisa lebih mahal sedikit atau lebih murah. Namun kalau kita bisa menemukan tebengan yang benar-benar searah dan sehati alias ingin cepat sampai juga maka waktu perjalanan yang ditempuh bisa lebih cepat dari bus bahkan dari kereta sekalipun. Memang tidak semua orang nyaman menggunakan sarana transportasi ini apalagi kalau kamu orang asing. Saya pernah merekomendasikan teman saya yang sama-sama orang asing untuk menggunakan sarana transportasi ini dan langsung ditolak mentah-mentah dengan alasan dia merasa nggak nyaman kalau semobil dengan orang yang nggak dia kenal. Padahal naik bus isinya kan lebih banyak orang yang dia nggak kenal! Menurut saya suasana nebeng nggak ada bedanya dengan naik bus, bahkan cenderung lebih nyaman, apalagi kalau kita bisa dapat mobil yang keren. Pengalaman saya dapat tebengan mobil mahal saat saya nebeng dari Munich ke Berlin. Saat itu lagi momen Oktoberfest jadi banyak banget pilihan tebengan karena orang Jerman dari berbagai daerah banyak datang ke Munich untuk mabuk-mabukan. Saya ke sana bukan untuk ikutan mabuk-mabukan melainkan untuk bertemu dengan teman lama saya yang sedang berkunjung ke Jerman. Pulangnya saya dapat tebengen anak orang kaya di Berlin. Bayangkan, dia baru masuk kuliah S1 tapi sudah mengendarai BMW open rooftop! Kalau dia bukan anak orang kaya nggak mungkin dia punya tunggangan sekeren itu. Saat saya dijemput sudah ada 3 cowok di mobil tersebut termasuk si pemilik mobil. Saya diberikan tempat duduk di depan oleh mereka. Biasanya pertanyaan standar kalau lagi nebeng untuk orang asing itu adalah, "Where are you from?". Saat saya menjawab Indonesia, reaksi mereka sungguh di luar dugaan karena mereka bilang nggak pernah mendengar Indonesia sebelumnya. Namun saat saya bilang Bali, mereka tahu Bali. Doh! Lebih parahnya lagi, si pemilik kendaraan ini bilang dengan polosnya kalau dia pikir saya orang Cina, karena menurut dia orang Asia itu ya orang Cina. OMG! Untuk standar anak kuliahan pernyataan dia asli bikin saya shock! Jadi jangan pernah berpikir kalau bule itu lebih pintar dari kita, ya! Ada juga kok yang bego. Hehe! Bonus lainnya dari jalan-jalan dengan nebeng adalah kalau kebetulan dapat supir alias pemilik kendaraan yang ganteng. Saya nggak akan pernah melupakan perjalanan saya dari Austria ke Jerman karena pemilik mobilnya yang ganteng dan ramah. Kebetulan saya duduk di bangku depan saat itu jadi saya yang lebih banyak ngobrol dengan dia dari pada penebeng lain yang duduk dibelakang. Topik pembicaraan kami banyak seputar dunia pendidikan karena dia bekerja sebagai guru sekolah dasar di Jerman. Selain itu mata saya juga dimanjakan dengan pemandangan alam yang indah di sepanjang jalan karena kami dapat melihat pegunungan Alpen yang bewarna sedikit kemerahan karena diterangi cahaya senja saat itu dan ditambah dengan pak guru ganteng di sebelah saya yang menemani. Sungguh pengalaman yang susah untuk dilupakan! Sayangnya setelah itu saya tidak pernah mendapatkan tebengen seganteng pak guru itu lagi. Tidak semua pengalaman nebeng saya menyenangkan. Saat itu saya pergi bersama dengan teman saya. Dari awal saya sudah merasa nggak enak hati karena mobil yang mau kami tebengin berbentuk van sehingga penumpangnya cukup banyak. Namun karena tidak apa pilihan lain, saya dan teman saya akhirnya mem-booking juga. Rute mobil juga tidak langsung menuju ke Wina karena pemilik mobil banyak melipir keluar jalan utama untuk menjemput penumpang lain. Oleh karena itu waktu perjalanan kami menjadi sangat panjang melebihi waktu yang seharusnya. Mobil kami juga sempat diberhentikan oleh polisi untuk diperiksa. Mungkin karena berbentuk van jadi terlihat mencurigakan – disangka van yang mengangkut korban human trafficking! Hehe! Bedanya korbannya di sini tidak dalam keadaan ketakutan karena ada yang tertidur, mendengarkan musik, membaca buku, dan ada juga yang ngomel-ngomel sepanjang jalan karena kelaparan dan itu adalah teman saya. Karena tidak menyangka perjalanannya akan selama itu, kami tidak banyak membawa makanan. Saat sampai di Wina sudah malam dan teman saya pun demam! Pengalaman buruk seperti itu tidak membuat saya kapok untuk menebeng, bahkan saya ketagihan. Paling nggak ketika ke Eropa, saya selalu mencari alternatif perjalanan jika ada cara nebeng. Terakhir kali saya liburan ke Jerman sebelum pandemi, saya menggunakan carpooling lagi. Kali ini dari Hamburg ke Copenhagen. Saat itu pemilik kendaraannya seorang pria paruh baya yang ramah. Dia cerita kalau dia habis mengunjungi anaknya di Berlin sedangkan dia sendiri tinggal di Copenhagen. Saya sempat terlambat 30 menit namun saya sudah memberitahukan sebelumnya karena ada ganguan di jalur subway saya. Dengan baik hati si bapak bilang dia akan menunggu saya 30 menit. Begitu saya sampai di tempat janjian, dengan ramah dia memperkenalkan diri dan memasukkan koper saya ke bagasi. Saat itu sudah ada 3 cewek penebeng lain di sana, dan bangku yang tersisa ada di belakang. Kali ini saya mendapat jatah untuk memandang alam dari kursi belakang sambil mendengarkan si cewek di depan menemani si bapak mengobrol, sampai akhirnya saya tertidur. *Gemala adalah peminum kopi yang suka jalan-jalan dengan mobil (road trip). #LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 1 Mei 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler. |
Ke Shanghai Demi Roger Federer Posted: 06 Jul 2021 03:00 AM PDT Oleh Henri Batubara* (Pemenang #LombaKelasTrinity) Perjalanan saya ke Shanghai pada Oktober 2019 silam adalah traveling sekaligus menonton tenis. Ya, tenis adalah olah raga yang rutin saya geluti. Dan menyaksikan pertandingan tenis kelas dunia sudah sejak dulu saya cita-citakan. Syukurlah benua Asia masih dapat jatah menyelenggarakan satu turnamen, tepatnya di Shanghai. Saya pun sejak tahun 2018 saya sudah menetapkan salah satu tujuan liburan saya tahun 2019 adalah kota nomor dua terbesar di China itu. Pada akhir tahun 2018 laman asosiasi tenis putra (ATP) sudah mencantum kalender turnamen selama tahun 2019. Maka sebagai seorang traveler yang 'bertumbuh' berkat buku-buku The Naked Traveler, saya pun langsung berburu tiket sebuah maskapai yang mengadakan Travel Fair awal Februari 2019 di Gandaria City. Yay, dapat dong tiket yang terbilang sangat murah untuk maskapai sekelas Singapore Airlines karena cuma Rp 4,5 juta pp! Ketahuan ya saya kalau bepergian selalu 'modis' alias modal diskon! Setelah hotel di Shanghai berhasil dipesan, saya belum lega 100 persen karena lewat laman turnamen untuk pembelian tiket, usaha saya tidak membuahkan hasil. Denah kursi dan diferensiasi harga yang jelas tercantum sudah saya pilih, namun saat membayar dengan kartu kredit selalu tidak berhasil. Sesuai ketibaan, saya menetapkan untuk menonton babak perempat final dulu. Semifinal dan final nanti saja karena tiketnya lebih mahal. Pertandingan yang saya pilih tentunya idola saya, Roger Federer. Karena dialah saya ke Shanghai. Tentu saya sudah 'berdoa semalam suntuk' agar dia tidak tersingkir di babak-babak awal. Perjalanan dari Jakarta ke Pudong transit di Changi berjalan lancar. Saya sudah sampai di hotel hari Jumat jam delapan. Kepagian dong untuk check in! Saya yang belum kenyang saat sarapan di pesawat langsung mencari makanan di sekitar hotel. Ternyata pramusajinya pada nggak ngerti bahasa Inggris! Akhirnya kami pun bicara pakai bahasa isyarat dengan menunjuk-nunjuk gambar. Pilihan berdasarkan cocok di mata dulu. Urusan di lidah belakangan. Dengan taksi yang dipesan resepsionis hotel, saya pun berangkat ke TKP. Butuh waktu 30 menit ke stadion bernama The Qizhong Arena itu. Memasuki menit ke 20, saya menyadari tujuan semakin dekat. Spanduk, baliho para pemain dan poster turnamen sudah berkibar menyambut. Barisan mobil-mobil pun mulai melambat. Calo-calo dengan sigap mengejar dan menggedor kaca, namun saya tidak tergoda. Kaca mobil tidak saya turunkan. Pasti harganya melambung tinggi. Beberapa meneriakkan Federer berkali-kali sambil mengibarkan lembaran tiket di tangannya. Saya tetap bergeming. Begitu turun dari taksi, kembali saya diserbu para calo. Meski mereka mengatakan semua tiket sudah sold out, saya tetap melangkah menuju loket. Apa mau dikata, tiket pertandingan Federer melawan Zverev benar sudah habis. Namun untuk pertandingan sekarang masih ada antara Novak Djokovic versus Tsitsipas. Ah, ini seru juga, bisikku dalam hati mengingat Djokovic adalah pemain nomor satu. Ambil! Lega, karena tiket saya peroleh sesuai harga resmi. Sebelum masuk stadion yang termasuk lima besar di dunia dalam hal kapasitas daya tampung itu, tentu tak lupa foto-foto dulu, baik secara swafoto maupun minta tolong ke pengunjung lain. Tentu berpose bersama sang idola tak dilewatkan. Barbuk lho! Setelah puas berfoto-ria, saya mampir ke beberapa booth sponsor turnamen. Topi dan apparel tenis pindah ke dalam tas. Begitu memasuki stadion dan menempati kursi yang termaktub di tiket, saya mengitari seluruh stadion yang lapangannya berada jauh di bawah sana (ketahuan deh harga tiket saya!). Stadion berbentuk oval ini beratapkan langit. Sesekali pesawat-pesawat melintas dengan berisiknya. Semoga tidak hujan, batin saya. Begitu kedua pemain memasuki arena, hati saya bergemuruh. Akhirnya saya melihat langsung para pemain kelas dunia, meski kecil namun terbantu oleh monitor-monitor raksasa di beberapa penjuru sehingga wajah mereka jelas terlihat. Pertandingan berlangsung ketat sampai tiga set yang dimenangi petenis Yunani itu. Apes, unggulan pertama keok! Memang kalau sudah jodoh, ke mana pun akan dapat juga. Saat istirahat set ke tiga, seorang pria lokal menyandang tas ransel tenis berisi dua raket masuk dan duduk hanya dua kursi di sebelahku. Aku tegur, dan dia merespon dengan ramah. Termasuk niat saya hendak menonton Roger Federer pun dia tanggapi dengan sempurna. Dia buka aplikasi dari gawainya, "The ticket is still available!" Singkat cerita, saya berhasil mendapatkan tiket itu dengan harga normal berkat pertolongannya. Rejeki anak soleh! Roger main menjelang malam hari. Langit sudah meremang. Begitu masuk kembali ke dalam, saya menengadah. Ternyata stadion ini punya atap yang bisa disetel sesuai keperluan dan cuaca. Saya berdecak kagum. Meski hujan badai turun, pertandingan tak akan terinterupsi ternyata. Sayangnya jagoanku kalah menyesakkan tiga set! Dia mengikuti jejak rivalnya yang telah duluan bertekuk lutut melawan petenis Yunani tadi. Sedih? Pasti. Idola kalah gitu, lho! Saya langsung mencoret rencana menonton semifinal dan final. Hari Sabtu saya mengitari kawasan The Bund yang menjadi ikon kota Shanghai. Saya juga berbelanja ke toko Uniqlo yang menjual baju dan celana yang dikenakan Roger Federer waktu main kemarin. Anehnya tidak semua gerai menjualnya. Hanya di gerai terbesar yang menjual. Makanya alangkah bahagianya ketika saya berhasil membelinya. Namun imbasnya, keinginan untuk memakai kaos Federer saat menggebu-gebu. Kalau saya pakai kembali ke stadion seperti thematic gitu, kan? Akhirnya saya putuskan untuk menonton partai puncak alias final keesokan harinya. Saya pede saja pergi, dengan keyakinan tiket pasti akan bisa saya peroleh. Karena bukan orang baru lagi, saya langsung menuju loket. Namun petugas security menghadang seraya menggeleng. Yaah, tiket sudah ludes terjual! Yang masuk final adalah si penakluk Federer dengan petenis muda Rusia yang sedang naik daun: Daniil Medvedev. Karena belum memiliki tiket, otomatis saya tidak boleh memasuki arena. Dalam keputusasaan, mata saya terpaku pada wanita bule semampai yang sangat cantik dengan dandanan formal berwarna pastel; seperti menunggu seseorang. Sayang dilewatkan begitu saja, iseng saya nekat mendekat, “Excuse me, I'd like to buy a ticket. Do you sell it?" Dia sontak kaget menatap saya dan menggeleng tentu saja. Mungkin dalam hati memaki saya: Emang gue punya tampang calo apa? Kelar 'bermain' dengan cewek cakep, beberapa menit berlalu begitu saja. Final tinggal 15 menit lagi akan dimulai. Saya mulai gelisah. Apakah saya akhirnya pulang dengan tangan hampa? Sia-sia dong 'pamer' kaos Federer! Tiba-tiba ada tiga remaja oriental menawarkan satu tiket kepada pria bule berpakaian mentereng. Si bule menggeleng. Saya tak ingin membuang kesempatan. Begitu mereka lewat di depan, langsung saya tegur. Ternyata seorang teman mereka tiba-tiba batal menonton. Olala, pucuk dicinta ulam tiba! Saya berhasil mendapatkan satu tiket final dengan harga diskon – bahkan lebih murah dari harga resmi! Baik benar mereka! Mereka pun mengajak saya untuk masuk bareng. Ternyata kursi saya terpisah dari mereka bertiga. Saya duduk tiga baris di depan mereka. Duduk di sebelah saya adalah seorang pria bule, yang ternyata dari Rusia. Vladimir namanya, seorang tennis freak juga. Buktinya dia datang dari Moskow demi Medvedev. Kami ngobrol dengan akrab dan saling memberi nomor ponsel. Oh, indah sekali akhir perjalanan ke Shanghai ini. Apalagi Medvedev juara pula! Kami berdua tanpa jaim lagi melonjak-lonjak gembira. *Henri Batubara berprofesi sebagai dokter aparat sipil negara. Hobinya membaca, menulis, dan koleksi buku (di antaranya seri The Naked Traveler). Karyanya berupa cerpen dan cerber pernah dimuat di majalah Femina, Kartini, Gadis, dan Tabloid Nyata. Juga satu buku kumpulan cerita yang terbit indie berjudul Song for Susan (April 2020). Saat ini sebuah novelnya sedang tayang di platform Storial.co berjudul Setelah Matahari Padam. Ia dapat dihubungi di email: batubara184@gmail.com #LombaKelasTrinity adalah lomba menulis yang ditujukan bagi para peserta kelas “Cara Mudah Menulis Perjalanan” pada 1 Mei 2021. Tiga pemenang mendapat sesi private coaching menulis dari Trinity dan paket buku dari Bentang Pustaka. Info kelas-kelas daring yang diadakan oleh Trinity dapat diakses melalui blog ini, Instagram dan Twitter @TrinityTraveler. |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar