The Naked Traveler |
Usulan agar Indonesia mendulang lebih banyak medali Olimpiade Posted: 05 Aug 2021 12:02 PM PDT Saya termasuk rajin nonton pertandingan olahraga di tiap ajang Olimpiade, apalagi selama Olimpiade Tokyo 2020 ini pas pandemi. Saya yang mantan atlet tidak berprestasi di masa gabut ini jadi menelaah bagaimana caranya agar Indonesia bisa mendulang lebih banyak medali Olimpiade Musim Panas di masa depan. Kesimpulan (bodoh-bodohan) saya: kita harus sadar diri dulu dengan kondisi genetik tubuh orang Indonesia. Rata-rata tinggi atlet renang Olimpiade Rio 2016 adalah 188 cm untuk pria dan 175 cm untuk wanita. Di Olimpiade Tokyo, perenang putra Caeleb Dressel (AS) yang dapat 5 medali emas tingginya 191 cm dan perenang putri Emma McKeon (AUS) yang dapat 4 medali emas tingginya 180 cm. Sementara perenang putra Indonesia terbaik sepanjang masa Richard Sam Bera tingginya 183 cm (termasuk jangkung di Indonesia) tapi prestasi tertingginya adalah medali perunggu di Asian Games saja. Ada penelitian menarik dari Direktur Copenhagen Muscle Research Institute, Bengt Saltin, yang menjelaskan mengapa pemain top basket NBA hampir semuanya berkulit hitam. Kesimpulannya, untuk membentuk atlet basket yang dahsyat, lingkungan dan teknologi menyumbangkan 25 persen, selebihnya datang dari faktor genetik. Ini membuktikan mengapa Filipina yang negaranya "basket banget" (karena bekas jajahan AS) dan selalu nomor 1 di ASEAN namun tidak pernah lolos kualifikasi Olimpiade. Tak heran sebagian atlet berprestasi di negara Asia merupakan ras campuran. Petenis Naomi Osaka dan pebasket Rui Hachimura merupakan campuran Jepang dan ras kulit hitam. Perenang Siobhan Haughey pemegang 2 medali perak Olimpiade Tokyo merupakan campuran Hongkong dan Irish – pemegang medali emasnya tentu dari ras kulit putih. Sayangnya kalau di Indonesia, ras campuran lebih diminati jadi artis. Tapi ada kok cabor yang tinggi badan tidak begitu pengaruh, seperti bulu tangkis, tenis meja, baseball/softball, dan sepak bola. Di Olimpiade Tokyo, bulu tangkis yang merupakan andalan kita membuktikannya. Viktor Axelsen yang dapat emas tingginya 194 cm, Chen Long yang perak tingginya 187 cm, Anthony Ginting yang perunggu tingginya 170 cm. Sebaliknya, pasangan Greysia/Apriyani yang pemegang emas justru tubuhnya terpendek dibanding Tiongkok yang perak dan Korea Selatan yang perunggu. Dengan mempermasalahkan tinggi badan, sebaiknya Indonesia memfokuskan cabor Olimpiade yang justru dengan memiliki tubuh pendek malah keuntungan. Secara ilmiah dijelaskan bahwa orang pendek itu lebih dekat dengan pusat gravitasi bumi sehingga tubuh mereka memiliki keseimbangan lebih baik. Contoh cabornya antara lain:
Bisa juga Indonesia memfokuskan pada cabor yang berdasarkan berat badan, seperti taekwondo, tinju, judo, karate, dan gulat. Buktinya Thailand sukses mendapat emas dari taekwondo putri kelas 49 kg, sedangkan Filipina medapat emas dari tinju putra 48–52 kg dan perak dari tinju putri kelas 54-57 kg. Jelas orang Asia Tenggara punya kesempatan besar di kelas teringan ini! Makanya Indonesia sering dapat medali Olimpiade angkat besi karena merupakan cabor kombinasi antara tinggi tubuh dan berat badan. Tiongkok adalah contoh sempurna karena mereka sangat sadar diri akan genetiknya. Sejak pertama kali Tiongkok ikut Olimpiade Los Angeles pada 1984, 75% medali emasnya didapat dari cabor loncat indah, angkat besi, senam, tenis meja, menembak, dan bulu tangkis. Hebatnya sekarang mereka telah merambah medali di hampir seluruh cabor, bahkan di cabor non Asia seperti atletik dan renang. Kesuksesan mereka karena didukung oleh pemerintahnya. Pencarian bakat dilakukan sejak mereka masih anak-anak, dimasukkan ke camp khusus untuk latihan, dan dibiayai negara – meski konon latihannya sangat keras. Memang tinggi badan bukan satu-satunya cara untuk mendulang medali, tapi merupakan tahap awal bagaimana pemerintah Indonesia seharusnya memfokuskan pengembangan cabor tersebut bila tujuannya adalah Olimpiade. Hal ini bukan berarti cabor lain harus dikesampingkan, karena masih ada Asian Games, SEA Games, dan PON. Juga tidak berarti saya menafikan usaha para atlet di cabor manapun. Banyak faktor lain yang membuat atlet berhasil, seperti dukungan pemerintah, keluarga, pelatih, fasilitas, latih tanding, dan dana. Namun sekali lagi, bila tujuannya Olimpiade maka pilihlah cabor yang sesuai dengan genetik. Memang selalu ada pengecualian, tapi carilah yang probababilitasnya lebih besar. Dengan adanya cabor baru Olimpiade Musim Panas yang cocok dengan tubuh orang Indonesia seperti sport climbing (panjat dinding), surfing, dan skateboarding, bahkan di Olimpiade Paris 2024 ada cabor breakdance, Indonesia harusnya bisa berpartisipasi, bahkan berprestasi! Sementara kalau mau berpartisipasi di Olimpiade Musim Dingin, Indonesia cocok ikut cabor figure skating. Ayo semangaaat! |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar