The Naked Traveler |
Posted: 23 Mar 2021 09:00 PM PDT Rumah (peninggalan orang tua) saya baru saja saya renovasi. Salah satu alasannya karena sebagian rumah mau disewakan alias mau bikin kos-kosan. Maklum sekarang saya tinggalnya sendiri, jadi rumah rasanya kegedan karena kedua orang tua sudah meninggal dan adik sudah keluar rumah. Jadi daripada punya aset nganggur, lebih baik dimanfaatkan bukan? Sebelumnya saya tinggal di semacam paviliun berukuran sekitar 34 meter persegi di bagian depan rumah yang terdiri dari ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, plus ada sedikit halaman berpagar. Kamar saya itu lah yang sangat bersejarah sampai menghasilkan 15 buku! Karena paviliun itu punya akses sendiri maka lebih mudah disewakan tanpa banyak mengubah bentuk bangunan. Saya tinggal menutup tembok belakang, memindahkan pintu ke depan, dan membuat pagar pembatas antara halaman kos dan garasi saya. Sebenarnya sih saya bisa aja bikin kos-kosan 2 pintu, atau sekalian bertingkat jadi 4 pintu, tapi bujet keburu habis karena renovasi seluruh rumah. Lagipula saya nggak komersil amat kok dan nggak mikir BEP (Break Even Point) karena masih jauh dari balik modal. Pun saya masih belum tega mengubah fasad rumah yang dibangun oleh orang tua saya. Saya lalu browsing untuk mencari tahu berapa saya harus menghargai harga kos-kosan dengan membandingkan harga di sekitar rumah saya, juga bertanya sana-sini bagaimana terms and conditions-nya. Untuk melengkapi fasilitasnya, saya bikin dapur kecil di ruang tamu (dulunya perpustakaan), pasang water heater, pasang instalasi listrik baru dengan dengan sistem token prabayar, pasang router internet yang tercanggih, dan bikin taman. Furnitur yang saya tinggali adalah tempat tidur ukuran queen, bufet warisan buyutnya ibu saya, kulkas kecil, meja dan kursi. Meski bukan kos eksekutif, tapi boleh lah dengan ukuran yang luas berikut taman di depan. Saya pun mulai sounding di medsos soal buka kos-kosan. Rame juga yang komen pengin ngekos. Saya jadi senewen sendiri. Duh, kayak apa ya ntar si anak kos? Apakah saya harus meng-interview calon anak kos dulu? Gimana kalau nantinya nggak cocok? Ndilalah, suatu hari saya ketemu teman lama. Kenalannya sama dia lucu. Pada 2016 saya lagi traveling sendirian di Belgia. Tau-tau ada DM masuk dari mahasiswi Indonesia S2 di Leuven pembaca buku saya yang mau nemenin jalan-jalan. Jadilah kami jalan bareng seharian ke Bruges. Orangnya sepantaran dan asyik juga. Singkat cerita, dia lulus kuliah dan balik ke Indonesia untuk bekerja di Jakarta pertama kali. Saat itu lah dia cerita kalau dia sedang mencari kos karena apartemen sewaannya busuk dan bikin klaustrofobik. Karena apartemen itu jaraknya dekat dengan rumah saya, langsung lah saya tawarkan kos-kosan saya dengan syarat, "Tapi elo harus nunggu 4 bulan lagi karena sedang direnovasi!" Dia pun setuju. "Tapi, rumah gue depannya kuburan!" Dia bilang nggak masalah. Hore! Gila ya, siapa sangka dapatnya semudah itu dan semua gara-gara traveling! Pada November 2020 akhirnya rumah selesai direnovasi. Saya balik ke rumah setelah ngekos sementara, begitu juga si anak kos pindah dari apartemen busuknya. Yeayyy, akhirnya saya jadi ibu kos! Nggak nyangka dulu pernah jadi anak kos selama lebih dari 10 tahun pas kuliah dan kerja kantoran, sekarang saya yang jadi ibu kos! Berbekal pengalaman ngekos, saya bertekad menjadi ibu kos yang baik. Mungkin karena saya belum ibu-ibu jadi santai aja, nggak rese melarang ini itu. Ternyata jadi ibu kos nggak susah-susah amat kok. Awalnya saya cuman harus kasih info warung, mini market, dan mal terdekat, di mana order gas dan air galon, di mana jalur jogging yang asyik, sampai info abang-abang jualan gerobakan dan restoran GoFood sekitar yang enak. Saya juga harus mendaftarkan anak kos ke Pak RT sebagai penduduk sementara dan mengenalkannya ke para tetangga. Selebihnya saya harus siap juga suatu saat dikomplen anak kos jika ada kran bocor atau internet mati. Untungnya yang ngekos teman sendiri, jadinya hubungan kami bukan kayak ibu kos-anak kos tapi lebih kayak house mate. Selama pandemi yang nggak bisa ke mana-mana ini saya jadi ada temennya; bisa ngobrol sama manusia dewasa beneran dengan cara offline! Kadang saya main ke rumahnya, kadang dia main ke rumah saya. Kalau suntuk, sesekali kami ke mal bareng atau jalan-jalan di kuburan depan. Anak kos yang jago masak makanan Eropa kadang suka ngundang makan bareng. Sebagai ibu kos yang nggak bisa masak tapi cukup sering dikirimi makanan, saya bagi-bagi Keuntungan lain jadi ibu kos tentunya finansial: saya dapat passive income bulanan. Masa pandemi yang bikin pemasukan saya terjun bebas ini jadi terbantu dengan adanya uang kos – lumayan lah untuk membayar sebagian kebutuhan bulanan saya. Enaknya lagi, tagihan listrik saya pun jadi berkurang banyak karena listriknya dipisah. Ah, bahagianya! |
You are subscribed to email updates from The Naked Traveler. To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google, 1600 Amphitheatre Parkway, Mountain View, CA 94043, United States |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar