Sisa kerusuhan besar tahun 2000 sudah tak ada lagi di Poso, Sulawesi Tengah. Namun kenangan pahit akan peristiwa diluar nalar itu tetap membekas dalam ingatan warga. "Warga sini sudah semakin rasional, tiada mudah dihasut. Sekarang kami terus berusaha membangun sekalipun bayangan kerusuhan itu masih teringat," tutur Nurdin (42), pengelola penginapan Julijus di Tagolu, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso.
Tagolu berjarak hanya tujuh kilometer dari kota Poso. Letaknya persis di pertigaan jalan poros Trans Sulawesi yang menuju Ampana dan Tentena.
Ke kota itu kami singgah semalam, Minggu (11/3/2012), dalam perjalanan bersepeda dari Tentena menuju Ampana.
Dulu sebelum kerusuhan, Tagolu merupakan salah satu sentra pembuatan aneka suvenir berbahan kayu hitam khas Poso. Suvenir seperti jam dinding, asbak, hiasan dinding dibuat oleh perajin asal Jawa.
"Sepanjang pinggir jalan ini orang buka usaha pembuatan sekaligus penjualan suvenir dari kayu hitam. Saat kerusuhan, para perajin menghilang dan sekarang mereka pindah ke kota," tutur Nurdin sambil menunjuk sederetan kios kosong yang pintunya tertutup rapat di pinggir Jalan Raya Trans Sulawesi seberang penginapan.
Hingga kini kios-kios itu masih tetap kosong. Belum ada usaha baru yang mengisinya, tanda roda ekonomi setempat belum benar-benar pulih seperti sebelum kerusuhan.
Penginapan yang dikelola Nurdin baru buka setahun lalu. Kamar-kamarnya mirip rumah kos dengan tarif Rp 75.000-Rp 125.000 per kamar.
Satu-satunya penginapan di Tagolu itu cukup layak jadi tempat singgah dalam perjalanan bersepeda di Sulawesi. Lahan parkir luas, kamar bersih, dan kita leluasa untuk cuci-jemur pakaian.
Sesudah sarapan nasi kuning yang lezat di warung dekat pertigaan, kami melesat ke arah Tojo. Jalan langsung mendaki landai berkelok-kelok melipir punggungan. Di beberapa titik, jalanan amblas. Interval kendaraan bermotor lewat tiga sampai lima menit, ideal sekali bagi turing bersepeda.
Di desa Tongku, kami melintasi sabana yang menghijaukan perbukitan. Ternak sapi dan kambing dibiarkan berkeliaran merumput. Beberapa hewan berjalan bebas di jalanan yang sepi kendaraan.
Tadinya tujuan kami adalah Tojo yang berjarak 76 km. Namun saat tiba di Tojo kami mendapat informasi soal Padapu yang masih 25 km di depan. Maka kami teruskan saja menggowes kesana.
Dusun itu sebenarnya hanya sekumpulan warung makan di pinggiran laut. Lingkungan yang asri membuatnya sangat layak dijadikan tempat perhentian dalam perjalanan bersepeda menuju Ampana.
Rupanya, kenangan buruk akan kerusuhan juga masih membekas dalam benak Un Tengker, pemilik penginapan Sahabat di Padapu. Un yang kami panggil tante, kehilangan adik iparnya saat kerusuhan itu.
"Tapi semua so berlalu, toh. So tak ada lagi kerusuhan. Orang so sadar tak ada guna baku bunuh, hanya bikin orang ketakutan datang kemari," tutur tante Un yang masih segar bugar di usianya yang lanjut.
Apa yang dikatakan tante Un benar adanya. Selama beberapa hari di wilayah yang disebut-sebut masih rawan itu, tak ada kekhawatiran sama sekali soal keamanan atau kriminal jalanan. Yang ada hanya keindahan alam luar biasa dan keramahtamahan penduduknya yang melekat di hati kami. Sulit membayangkan ketenangan wilayah ini terkoyak begitu saja oleh kerusuhan sesaat.
Padapu masuk wilayah Kecamatan Podi, Kabupaten Tojo Una-una (Touna). Letaknya di teluk kecil yang kami capai setelah menyusuri jalan aspal mulus berpagar gunung karang tinggi dan laut dalam membiru Teluk Tomini.
Sebelum masuk Padapu, kami saksikan sisa-sisa kedahsyatan banjir besar Sungai Podi pada 2001. Banjir menimbulkan kerusakan besar di sepanjang aliran sungai yang berhulu di Gunung Katopas. Endapan pasir tebal dan material dari gunung menutupi sisi jalan.
"Ada tiga danau alam di kaki gunung, salah satunya ambrol sehingga terjadi banjir. Kejadiannya siang hari, tidak ada korban tapi jalanan terputus dan baru tiga tahun kemudian diperbaiki," tutur Ronald Sumual, anak tante Un.
Suasana Padapu terasa tenteram. Serangga hutan bernyanyi sepanjang hari. Suaranya berpadu dengan riak ombak kecil memecah pantai berbatu bulat yang membentang di depan rumah. Iramanya harmonis sekali. Di samping rumah, mengalir sungai jernih yang airnya dingin.
Listrik dari genset hanya mengalir pukul 18.00-20.00 di penginapan sederhana bertarif Rp 50.000 semalam itu. Satu kamar bisa diisi sampai empat orang. Sekalipun ada tiang listrik berdiri dekat penginapan, aliran listrik lebih sering 'byar pet' sehingga para pemilik warung membeli genset sendiri.
Setelah membongkar muatan sepeda, Ocat dan Abidin langsung terjun ke laut. Untuk membilas tubuh, mereka lalu berendam di air sungai. Ah, Padapu benar-benar seperti surga kecil di sudut Teluk Tomini yang tenang.
Tante Un mengatakan, sejak buka penginapan 12 tahun lalu tempatnya kerap disinggahi turis asing yang datang dengan bersepeda. Beberapa kelompok berjumlah lima sampai 15 orang mengikuti paket perjalanan turing dengan dukungan kendaraan yang berjalan di belakang.
"Kelompok lain yang jalan sendirian atau berdua-bertiga. Tak ada yang kawal, semua barang dibawa sendiri di sepeda, persis seperti kita ini," tutur tante.
Setelah kerusuhan, rombongan pengelana asing itu menghilang. Mereka baru muncul lagi setelah 2005. Namun sampai sekarang jumlahnya tak sebanyak dulu lagi.
"Orang sini so biasa lihat bule bersepeda. Tapi kalau orang lokal bersepeda seperti kita, belum pernah lihat, makanya mereka bilang kita bule palsu," tutur tante Un sambil tertawa lepas.
Gaya bicaranya yang ceplas ceplos dan suasana sore itu membuat kami betah ngobrol ngalor ngidul di beranda rumah. Kelelahan setelah seharian gowes nyaris tak terasa.
Di ufuk barat, mentari mulai terbenam. Semburat warna jingganya mengantar kami menyambut malam yang begitu tenang di Padapu.(Max Agung Pribadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar